Repot-repot Memanggang Kopi, Harus Banget, Ya?

Menurut beberapa catatan, tanaman kopi ditemukan pertama kali di tanah Ethiopia, oleh kambing-kambing yang mengunyah buah ceri kopi kemudian karena menelan buah tersebut menjadi lebih aktif dan hal tersebut kebetulan diamati oleh sang penggembala. “Buah ajaib!”, mungkin kata itu yang keluar dari sang penggembala kala melihat sang kambing memakan buah tersebut dan akhirnya ia mencobanya sendiri. Ia merasa menjadi seperti kambing! Wow! Bukan badan dan baunya tapi, jadi lebih segerrrr. Kira-kiranya sih begitu.

Sejarah kemudian mencatat, bahwa tanaman kopi itu akhirnya menyebar ke jazirah Arab, kawin dengan budaya masyarakat di Arab yang berisi mayoritas orang-orang beragama Islam dan beberapa di antaranya menganut paham sufisme. Pemetikan fungsi dari segelas kopi bagi budaya tersebut digunakan sebagai sebuah stimulan untuk tetap terjaga pada malam hari yang diisi dengan kegiatan spiritual. Selanjutnya dalam banyak catatan, cerita itu berlanjut kepada penyebarannya yang mengarah ke daerah Kekaisaran Ottoman dan dipopulerkan kemudian ke benua sebrang, yaitu Eropa.

Segelas kopi dinikmati dengan warna cairan yang hitam, tidak seperti warna buah aslinya. Bila kita bayangkan buah jeruk dan produk turunannya berupa segelas sari jeruk, maka ada kemiripan warna antara produk asal dan produk turunannya. Namun, berbeda dengan kopi, segelas kopi tidak berwarna serupa dengan produk mentahnya.

Kenapa demikian? Hal ini disebabkan oleh proses yang dialami si bahan mentah alias si biji kopi itu sendiri sebelum diproses ke dalam minuman. Proses tersebut adalah proses pemanggangan atau awam disebut dengan istilah roasting.

Tapi ada satu pertanyaan yang sebenarnya belum saya dapatkan jawabannya dengan tuntas. Kenapa masyarakat pada sekitar abad 15 dan 16 itu terpikir untuk memanggangnya terlebih dahulu sebelum menyesapnya dalam sebuah gelas? Ada satu missing link yang tidak banyak dicantumkan dalam beberapa sumber bacaan tersebut.

Pertanyaan ini sempat saya ajukan pada beberapa orang dan hasilnya memang tidak memuaskan. Jawaban yang saya dapat kala melontarkan wacana diskusi itu terjawab mentah dengan poin-poin seperti ‘meningkatkan cita rasa’, ‘mematangkan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya’,  dan lain sebagainya. Tentunya jawaban itu masuk akal, dengan catatan kerangka berpikir dan hipotesis itu digunakan di zaman sekarang. Namun bila kerangka berpikir itu diaplikasikan pada zaman dahulu tentunya menjadi sebuah hal yang tidak relevan.

Beberapa poin yang bagi saya menjadi tidak logis adalah :

  1. Pada dasarnya manusia itu ingin hal yang mudah dan memudahkan. Contohnya adalah, di zaman kiwari orang malas antre, malas masak dan malas keluar rumah untuk mendapatkan makanan. Solusinya adalah mereka memesan makanan tersebut melalui aplikasi ojek daring untuk mengantarkan makanan mereka langsung ke rumahnya. Itu mudah dan tak mau ambil pusing. Mereka tidak keluar rumah, tapi sudah bisa makan tanpa memasak.
    Selanjutnya kalau memang tujuan mereka meminum kopi untuk mendapatkan manfaat dari si kopi itu sendiri, tentunya sudah cukup mereka memakan buahnya saja, seperti cerita kambing yang disinggung di awal tulisan. Dengan tahapan memanggang baru menyeduhnya, tentu itu bukan suatu hal yang masuk kategori mudah. Perlu sebuah upaya lebih untuk ‘hanya’ menikmati segelas kopi dan mendapat manfaat dari si kopi itu.
  2. Kenapa mereka mesti memanggang biji kopinya saja? Pertanyaan lanjutan ini pun bagi saya belum terjawab dengan tuntas, karena bila mengamati si kambing, kambing itu memakan buahnya secara utuh. Mereka tidak memilah-milah dari buah tersebut mana yang masuk kategori daging buah, kulit buah, atau biji buah. Mereka melahap semuanya, iya, kan? Bila memang mereka ingin memproses bahan mentah tersebut, padahal en toch ya langsung saja panggang sama buah-buahnya, tidak perlu dipisah-pisah bijinya. Dasar makhluk-makhluk pemilih.
  3. Setelah selesai proses pemanggangan itu, kenapa kopi yang telah dipanggang harus digiling terlebih dahulu sebelum dimasak dengan air? Untuk meningkatkan proses ekstraksi kopi, gitu? Wow… wow… wow… Orang dulu mana paham beginian. (Eh, iya ga sih?) di saat kopi saja sempat dilarang karena efek minumannya tidak bisa dijabarkan secara ilmiah oleh para ilmuwan, tentu poin ekstraksi lagi-lagi tidak bisa kita jadikan sebagai kerangka berpikir untuk digunakan pada zaman tersebut.
    Poko’e pada masanya dulu ya, kopi malah sempat dilarang karena warna gelap cairannya serupa minuman anggur yang memabukan, dan memberi sensasi “tinggi”. Tidak bisa dibuktikan kalau kopi itu minuman yang aman dan memberi benefit alias fungsional untuk dikonsumsi oleh tubuh.
  4. Dalam proses pembuatannya, kenapa kopi pada zaman awal perkembangannya itu harus direbus? Mungkin sekarang kita mengenal teknik penyeduhan paling sederhana berupa tubruk. Proses yang hanya menuangkan air mendidih ke dalam gilingan kopi. Kalau ada proses sederhana seperti itu, untuk menyambung poin nomer 1, tentunya hal itu akan lebih banyak digunakan pada zaman dahulu dibandingkan dengan cara merebus kopi bersama airnya sekalian.

 

Sudah cukup bagian pertanyaannya, sekarang sedikit demi sedikit saya mulai mendapatkan jawabannya. Dengan catatan, narasi ini sangat terbuka untuk dikritisi dan didiskusikan. (Untuk sumber materi, sementara saya belum bisa mencantumkannya satu per satu. :v Damai, kakak-kakak sekalian!)

Sementara saya baru mendapatkan sedikit tirai terbuka pada kegelapan di poin nomer 1 dan 4. Alasan biji kopi itu harus dipanggang terlebih dahulu itu, saya dapatkan ternyata akibat stigma masyarakat pada zaman dahulu terhadap bahan makanan.

Pertama, saya jelaskan kalau makanan bisa dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu makanan mentah, matang, dan busuk. Dalam kategori makanan mentah, makanan tersebut bisa dikonsumsi setelah melalui proses sederhana seperti memetik, mencuci, hingga memotong. Kegiatan tersebut bisa diaplikasikan pada buah dan sayur. Kategori makanan matang adalah, bahan yang telah melalui proses pemanggangan, pembakaran, atau perebusan. Kategori makanan bususk adalah jenis bahan dari sisa makanan yang sudah tidak bisa dimakan lagi.

Stigma yang saya singgung sebelumnya berkaitan dengan proses makanan matang. Jenis bahan yang mengalami proses pemanggangan, pembakaran dan perebusan ternyata pada zaman dahulu dikategorikan sebagai makanan atau minuman yang lebih beradab dibandingkan dengan jenis bahan yang tidak mengalami proses demikian. Dari hal tersebut saya menyimpulkan dengan perkembangan peradaban yang tengah terjadi di Jazirah Arab, masyarakat setempat mengusahakan bahan-bahan makanan untuk diproses dengan lebih beradab, maka terjadilah sebuah upaya pemanggangan dari biji kopi. Dan proses tersebut berkaitan dengan segmen peminumnya. Peminum kopi pada masa itu bisa dikatakan sebagai orang beradab atau dalam kata lain, lebih maju dalam hal cara berpikir serta spiritual, hingga kedudukan mereka dianggap lebih tinggi dalam strata sosial yang melekat pada identitas mereka.

Begitu juga dengan proses pembuatan minuman kopi itu sendiri yang pada awal mulanya hanya mengenal sedikit metode. Metode yang digunakan tersebut adalah metode perebusan. Di mana kopi yang sudah digiling/ditumbuk dimasukkan ke dalam air, lalu dipanaskan secara bersamaan di atas tungku pemanas. Metode ini biasa dinamakan sebagai metode ‘turkish coffee‘. Kenapa dinamakan turkish? Nanti kapan-kapan kita diskusikan di tulisan lainnya.

Dalam metode perebusan tersebut, saya awalnya menganggap bahwa metode pembuatan kopi ini mengadaptasi pembuatan masakan lain bernama sup. Menu masakan yang didominasi air, baru kemudian bahan-bahan lainnya. Entah ada keterkaitan apa antara sup dan kopi, namun hal itu saya rasa hanya karena kita tidak bisa melepaskan stigma masyarakat era tersebut tentang bagaimana manusia beradab harus mengonsumsi makanannya.

Setelah metode itu dilakukan selama ratusan tahun, barulah berkembang variasi metode lain dalam penyeduhan kopi yang dapat menghasilkan cita rasa yang berbeda-beda pula. Seiring perkembangan variasi cara penyeduhan kopi, berkembang pula ilmu pengetahuan dan penelitian yang mengungkapkan manfaat pemanggangan dan pemasakan kopi dengan cara yang sesuai dengan keinginan untuk mengeluarkan potensi terbaik cita rasa yang dimiliki oleh kopi itu sendiri. Bahkan, kita juga bisa mengatur intensitas kadar kafein dari proses yang bersinggungan dengan pemanggangan kopi.

Sementara sekian dulu. Makanan tidak pernah hanya sekadar urusan perut dan lidah. Lebih dari itu, makanan selalu berkaitan erat dengan sejarah dan kebudayaan. Itu menjadi sisi menarik yang jarang diangkat sebagai sebuah topik perbincangan. Begitu pun halnya kopi, yang sangat erat dengan sejarah perkembangan peradaban manusia. Bila tidak pernah ada komoditas buah kopi di dunia ini, mungkin sebuah perbincangan setara tanpa memandang kasta dalam satu meja hanya menjadi sebuah angan belaka.