Senyum Tempelan

IMG_0073.JPG

Punya tempelan baru di kamar. Self reminder. Bikin beginian terinspirasi seorang teman. Lumayan ngaruh. Dikit. Memperbaiki mood setiap keluar kamar hingga keluar rumah. Ga terlalu cemberut kalau di rumah. Tujuan bikin ini emang banyak. Salah satunya pun tidak akan saya sebutkan. Biarlah menjadi rahasia saya dan muka yang saya gambar itu.

Berhubung katanya senyum itu ibadah, senyum itu sedekah, senyum itu bikin awet muda, senyum itu berbagi kebahagiaan, tapi saya suka lupa jadi saya harus ngebiasain diri senyum sama orang yang di gambar itu. Kayak orang gila mungkin, ga apa-apa. Orang gila kan dosanya ga dihitung.

Sebagai makhluk sosial untuk senyum itu kadang sulit. Kita nunggu disenyumin dulu baru senyum balik. Coba kalau kita senyumin orang lain duluan dan coba senyumin lawan jenis, rasain nikmatnya bikin anak orang salah tingkah. Eh, itu kalau orang lain sadar disenyumin, kalau ga disenyumin balik malu dong! Lah iya cuek aja, emang malu sama siapa? Lah wong orang yang kita senyumin aja ga ngebales, terus siapa yang merhatiin kita? Jadi malu sama siapa sebenernya? Berasa banget diperhatiin sama orang. :p.

Senyum boleh saya bilang sebagai akar kebahagiaan. Senyum itu naluri ilmiah yang menampilkan kebahagiaan. Bukan seperti berjalan kaki yang lebih dari sekedar bakat untuk mahir menguasainya. Memang bagi sebagian orang senyum itu perlu dipelajari juga, tapi saya anggap mereka tidak bisa lebih terbuka dengan perasaannya. Sotoy. Iya. Namanya juga opini berdasar fakta cabutan sana-sini.

Ngomongin masalah kebahagiaan, harus ke siapa kita bergantung untuk merasa bahagia. Oke. Tuhan. Dengan cara bersyukur. Habis itu siapa? Pacar? Iya, kalau punya, kalau ga ya ngenes. Lagian pacaran yang resmi (dengan buku nikah) atau pun tidak resmi bukan untuk mencari kebahagiaan. Justru disana tempat untuk berbagi kebahagiaan. Kalau ga bisa berbagi kebahagiaan ya jalannya ga akan bahagia. Begitu. Kalau minta dibahagiain mulu egois banget dirimu.

Terus mau nyari dari temen. Ya untung kalau temennya juga lagi asik, bisa ngehibur. Kalau lagi rese, boro-boro bikin bahagia, malah tambah bete. Kan temen jua sering becanda yang ngeledek. Kalau timingnya lagi pas bisa baku hantam dua insan manusia itu.

Iya kalau nyari bahagia dari orang lain itu intinya ga akan beres. Titik. Sotoy. Eh engga kalau ini. Ada satu fase dalam hidup saya yang belum seberapa ini. Kurang lebih setahun lalu. Sebut saja saya percaya sama orang, dan orang itu tidak membalas kepercayaan saya seharusnya. Terdengar sepele tapi bagi saya pada masanya merupakan hal yang mengganggu batin. Saya mengurung diri di kamar untuk beberapa hari. Otak dipenuhi sama itu.Pada masa sulit itu saya harus latihan band. Saya kan so’ so’ musisi. Niat pergi latihan adalah melepas penat dengan musik bersama teman, berharap yang lain lagi gokil buat ngehibur.

E tapi ketika di jalan tetiba saya merubah motivasi saya kumpul dengan teman-teman menjadi “Ngejam saya pengen seneng bareng sama temen-temen”. Beda antara pengen “seneng ngejam bersama teman” dengan pengen “seneng bareng melalui ngejam”. Selama melewati 289 lampu merah kota Bandung saya terus mensugesti hal itu. Dan hasilnya adalah senang yang tiada tara. Bukan lebay. Tapi emang TIADA TARA nikmatnya. ketemu orang ketawa karena kita ketawa duluan. Atau ketawa karena candaan kita. Lucu atau ga gimana entar. Yang penting seru.

Dari pengalaman itu saya belajar kalau senang itu memang bukan dari siapa-siapa kecuali diri sendiri.

Bahkan saya rasa Tuhan tidak bisa memaksa kita bahagia kecuali kita memilihnya sendiri. – Ryan, 2016

 

Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun. – AA Gym

 

Senyum dulu, ketawa, gila kemudian. – Ryan, 2016

Minggu, 20 Maret 2016
Rumah Temon

Jangan Lupa

Literatur untuk fisiologi tubuh
Senyum lebih banyak menggerakkan otot di wajah
Itu olahraga wajah, membantu awet muda
Jangan lupa kamu melatihnya
Kamu terlihat ceria menarik batin untuk bahagia
Mulai pagi hari, tambah di siang terik, sisakan sebelum terlelap dalam mimpi
Agar tidak perlu lagi mencari bahagia

Sibuk kerja, selesaikan dengan segera
tapi jangan tergesa
Jasmani pasti letih
Jangan lupa lapar
Ada yang perlu diisi, ada yang harus dikunyah
kecuali puasa
Ada yang selalu mendoa agar kau bugar
dengan itu kamu tampak segar
dengan itu kau bisa membantu yang lain berdiri tegar

Jangan lupa Tuhan pemberi kurnia untuk bersyukur
Jangan lupa keluarga yang mendorong berhidup luhur
Jangan lupa diriku, dari harapan ego yang melantur

Kamis, 17 Maret 2016
Kafe Panas Dalam Bandung

*) Untuk seseorang, belum sempat disampaikan saat dibuat dan diketik

Negara ngasih apa?

Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi apa yang bisa kamu berikan untuk negara. – John F. Kennedy

Kutipan yang di masa modern dipopulerkan oleh JFK tapi menurut sumber lain mengatakan kutipan itu pertama dilontarkan filsuf Marcus Tullius Cicero, orator dan negarawan Romawi Kuno.

Kutipan yang sering didengung-dengungkan itu kadang bikin muak. Bikin muak kalau kalimat itu diserukan di zaman sekarang. Kalau zaman perjuangan kemerdakaan mungkin relevan tapi kalau sekarang sih saya no, ga tau kalau Mas Anang.

Lah kalau udah ngasih semua yang rakyat sebagai individu miliki ke negara, lalu negara ngasih apa? boleh ga nanya gitu? selain tempat tinggal dan izin kewarganegaraan apalagi yang dikasih negara?

Sebut saja kewajiban pajak sudah dilakukan, peraturan undang-undang tidak ada yang dilanggar, tata tertib berlalu lintas sudah dipenuhi, kewajiban menempuh pendidikan sudah dijalani. Lalu kita ingin memberi lagi lebih kepada negara berupa sumbangan ide, fasilitas, apakah dapat timbal balik selapang-lapangnya?

Saya curhat! boleh?
Ketika usia wajib belajar sudah dihabiskan dengan suka cita saya menempuh jenjang kuliah dengan harapan saya bisa mengaplikasikan ilmu kuliah saya kepada masyarakat. Sebut itu lapangan pekerjaan. Saya tidak merasa mendapat itu. Kalaupun ada ya aplikasi ilmunya saya kasih untuk perusahaan bukan masyarakat. Anggap saya bodoh dan tidak bisa bersaing dengan para pencari kerja lain, tapi masih ada tuh orang yang pinter ga keterima kerja untuk memajukan masyarakat.

Bila saya terbilang adalah beban negara karena disebut “pengangguran”, saya berusaha untuk mengurangi satu kuota saja untuk duduk sebagai pegawai pada lapangan kerja yang tersedia dengan menciptakan lapangan kerja untuk saya pribadi. Mudah-mudahan saja saya bisa membuka lapangan kerja secepatnya (aamiin).

Sudah cukup membahas saya pribadi. Hak masyarakat untuk usia wajib belajar apa sudah terpenuhi seluruhnya? Eh, ada kata wajib, kalau memang wajib belajar selalu saja ada berita di media massa yang menayangkan sekolah dengan fasilitas bobrok atau seadanya. Lalu kasihan mereka, yang tidak bisa menunaikan kewajiban belajarnya, dan selain wajib itu hak anak-anak itu pada usianya. Dengan pendidikan seadanya saya bingung cara “apa yang diberikan mereka untuk negara” itu seperti apa. Karena bekal pendidikan itu sangat penting, seberapapun tidak baik sistemnya.

Lalu sumber berita mainstream sayangnya jarang mengekspose kasus Salim Kancil atau rakyat Papua sana. Apa yang mereka miliki sudah “diberi” tapi tidak mendapat “pemberian” yang layak dari pemerintah.

Ada juga kasus Dasep Ahmadi. Saya mau membahas tapi sudah lelah ngetiknya. Ingin memberi tapi dapat “balas budi” berupa tuntutan penjara dari pemerintah.

Saya cuma bisa cuap-cuap disini dalam kondisi masih terus berusaha untuk memberi dan menanti yang disana mengasihi.

 

Kamis, 17 Maret 2016
Kafe Panas Dalam Bandung

Ayo (Jaga) Sekolah

Didaskaleinophobia atau rasa takut akan pergi ke sekolah. Lagi buka-buka instagram dan muncul di timeline akun yang suka nampilin info kadang penting kadang engga dan ngasih info itu ke diriku. Kayaknya dulu waktu masih SD ngalamin ini. Soalnya entah kenapa takut aja pergi ke sekolah. Padahal ga ada apa-apa yang perlu ditakutin juga sih. Toh nyatanya selama sekolah juga berprestasi di kelas (ciyeee gitu). Gejala yang dialami selain rasa takut itu sendiri adalah tegang. Berasa tiap hari datang ke sekolah ada hari dimana ujian sekolah dilangsungin. Ga tau sih apa yang bikin begitu. Apa karena sekolah emang membosankan ya. Kalau merunut lagi masa-masa hitam-kuning (seragam SD saya untuk hari tertentu warnanya begitu) saya kalau datang ke sekolah juga ga masuk kelas. Terus ngapain ke sekolah? Jaga sekolah sama mandorin pembangunan. Haha. Kalian pikir ini bercanda? Saya harap juga begitu. Pada zaman tolol dan polos itu saya masih mandja karena harus diantarkan oleh simbok make mobil. Emang agak jauh juga sih kalau jalan. Beruntung aja dikasih rejeki kendaraan. Ada juga fasilitas antar jemput dari sekolah itu, tapi percuma karena ujung-ujungnya dianterin juga sama simbok. Sudah nambah bayar buat biaya antar jemput terus tidak dipakai fasilitasnya habis itu masih minta antar pula ke simbok. Kurang ajar betul saya. Untung dulu masih bocah, jadi segala sesuatunya sering dimaklum, ya selama ga bikin video atau gambar mesum aja.

Setelah diantar dan sampai sekolah apa yang terjadi? Saya mogok sekolah. Mogok sendiri. Tidak massal. Minta ditungguin sama simbok di depan kelas. Berhubung kerjaan simbok juga ga sedikit ya tidak bisa menuruti kemanjaan saya. Akhirnya beliau cabs duluan, dan saya ditinggal. Setelah simbok cabs apalagi? Saya ga masuk kelas. Saya “nongkrong” di luar kelas, keliling-keliling sekolah, duduk-duduk ga jelas, ngeliatin buruh bangunan ngaduk semen, ngelempar bata, ngopi, kalau bosan ngobrol sama mas warung, saya lupa namanya, terus jaga gerbang. Pada waktu jam istirahat saya dapat teman sebaya, karena teman-teman di kelas menghampiri saya ngajak diskusi politik, ekonomi, sosial dan budaya tentang orde baru atau berakting anak kecil dengan main petak umpet, bebentengan, kartu tepok dan lainnya. Tapi kalau bel masuk berdenting kembali mereka masuk kelas dan saya tetap di luar. Karena saya emang kuncen sekolah. HAHA. Temen-temen ngajak masuk ke kelas sih, untuk menjaga perasaan mereka saya berusaha bersikap sopan dengan hanya tersenyum dan mengangguk tapi sambil mengangkat telapak tangan dengan halus. Saya memang “tokoh” di SD saya.

Hal itu berlangsung sampai sekitar kelas 2 SD. Mulai dari kelas 3 saya sudah berani masuk kelas dengan rutin tapi tidak menghilangkan sindrom pagi hari dimana keadaan takut dan tegang tetap menghantui. Tak terhitung dengan jari berapa hari saya ga masuk sekolah karena rasa tegang itu turun ke perut menghasilkan kontraksi. Usaha yang dijalani juga banyak. Mulai dari konsultasi ke dokter hingga pengobatan alternatif tenaga dalam, dalam ruang. Tetap tuh tidak bisa menyembuhkan penyakit saya. Yang saya baru sadar ketika dewasa ternyata itu bukan penyakit di perut saya, tapi di pikiran saya. Mau gimana lagi nasi sudah jadi bubuk. Tidak bisa saya perbaiki masa SD tersebut. Atau bisa dibilang sampai masa SMP. Begitu terus tiap hari sekolah, karena setiap hari sabtu dan minggu setiap paginya saya tidak pernah sakit apa-apa. Jangankan sabtu atau minggu, hari sekolah pada jam 10 kalau lagi di rumah saja penyakit perut itu sudah hilang.

Saya yakin penyakit itu sudah hilang atau berkurang drastis ketika masuk SMA karena pada SMA prestasi saya di kelas jeblok. Apa yang bisa dipetik dari cerita ini? Ga ada. Kalau bisa dipetik itu namanya jambu.

 

Kamis, 17 Maret 2016
Kafe Panas Dalam Bandung

Kontemplasi Kamar Mandi

Kalau ngobrol sama orang banyak yang bilang entah kenapa tiba-tiba suka muncul ide, inspirasi, pikiran penting dan ga penting kalau lagi ada “kegiatan” di kamar mandi. Akan saya sebut selanjutnya kegiatan dengan istilah “acara membuang makanan yang tidak terserap nutrisinya”. Panjang ya. Juga katanya, ini mah katanya, kalau di kamar mandi yang sempit itu pikiran lebih tenang. Saya sih setuju ga setuju. Kadang saya dapet ide dari kamar mandi. Malah sempet saya bawa kertas sama pensil waktu lagi rajin-rajinnya nulis “puisi” ke kamar mandi saat berniat untuk mengadakan acara membuang makanan yang tidak terserap nutrisinya itu. Kalau dipikir-pikir sih kenapa di kamar mandi bisa bikin pikiran tenang? Padahal ruang sempit, (kadang) ga bisa sandaran, ga bisa nyantai, lembab, basah. Coba bayangin kalau di kamar mandi itu kita kekunci dan ga bisa keluar. Masih bisa berpikiran tenang? Kalau saya sih sulit.

Kalau lagi acara membuang makanan yang tidak terserap nutrisinya itu emang kita ga ada kerjaan lain pada umumnya. Ada sebagian orang yang bawa buku pada saat acara membuang makanan yang tidak terserap nutrisinya. Tapi ada beberapa juga yang mau ngikutin itu tapi takut bukunya basah. Itu saya. Haha. Sayang kalau bukunya basah walaupun udah disampul plastik. Nah, kalau ga ada kerjaan sama sekali orang jadi ngelamun. Ngelamun itu kadang pikiran ga beres. Ngehayalnya kadang kebangetan. Kadang bisa bijak sendiri. Atau kalau lagi punya masalah yang numpuk bisa ketemu beberapa solusi yang bisa dicoba. Saya sendiri merasakan kalau acara membuang makanan yang tidak terserap nutrisinya itu memberikan saya waktu sendiri, tenang tanpa distraksi benda-benda, dan akhirnya saya bisa berbicara dengan diri sendiri tanpa gangguan apapun. Saya bisa memahami diri saya sendiri, introspeksi, berbicara dari hati ke otak dan otak ke hati.

Setelah ada gadget smart phone, waktu untuk berkontemplasi di kamar mandi kian berkurang. Dan anehnya bawa buku sayang kalau basah, tapi kalau bawa gadget ga takut kalau nyemplung. Padahal harganya kan lebih mahal gadget gimana sih. Siapa yang membawa smartphonenya ke kamar mandi seperti saya coba angkat tangan! Akibat itu juga ide-ide semakin sulit dicari. Iya dicari bukan didapat otomatis gitu aja kalau di kamar mandi. Ide itu ada karena mikir. Mikirnya tenang itu ya pas acara membuang makanan yang tidak terserap nutrisinya. Dan akibat pengaruh gadget yang dibawa ke kamar mandi, semakin jarang juga waktu yang disediakan untuk berbicara dengan diri sendiri. Menyadari lingkungan, ngeliat sesuatu dari sudut pandang lain, sampai visi misi kehidupan yang akan dijalani selanjutnya.

Maka dari itu, kita seharusnya lebih menghargai waktu kita di kamar mandi! Eh bukan. Maksudnya kadang kita butuh waktu menyendiri di sebuah tempat, ruang, waktu dan situasi yang memang kita buat nyaman untuk bisa menyelami diri sendiri, berdiskusi antara otak dan hati, evaluasi, introspeksi, atas kejadian. Karena seringnya jawaban masalah kita itu adanya dari kita sendiri. Kan kita sendiri juga yang mengalami masalahnya bukan orang lain. Kadang kita bisa ngasih saran untuk masalah teman, tapi pas kita ngalamin masalah yang serupa tapi tak sama itu kita lupa saran kita sendiri. Akhirnya curhat lah ke temen dan nyari saran serta jawaban yang harus dihadapi. Setelah denger saran dari temen kita (seakan) tau jawabannya, padahal kita hanya butuh saran teman untuk sekedar mengingatkan atau memperkuat langkah kita. Dan selain butuh waktu sendiri dan menyendiri, sangat butuh waktu bermesraan dengan Tuhan.

 

10 Februari 2016
Kamar Ryan