Tangis yang Membuncah Setelah Selesai Menonton 1 Season Itaewon Class

Sudah lama saya berbohong pada diri sendiri. Tanpa disadari sama sekali. Tak tahu berapa lama tepatnya. Bahwa saya sebenarnya tidak baik-baik saja.

Bukan dalam artian untuk menempatkan diri jadi manusia paling menderita sedunia dan membuat saya pribadi jadi pusat kejadian alam raya. Semua orang punya lukanya masing-masing dan setelah tamat menonton drama korea satu ini, luka saya menganga sangat lebar. Entah luka yang mana, hanya rasa sakitnya saja yang jelas terasa.

Terlambat sebetulnya saya menonton Itaewon Class ini, kalau dibandingkan teman-teman yang sudah lebih dulu menamatkannya. Kebetulan pula saya baru saja membaca sebuah artikel di bacapetra.co berupa sebuah esai dari Stefano Benni yang sudah diterjemahkan. Dalam esai tersebut ia menceritakan seorang bernama Roberto Roversi. Dalam esai tersebut, Roberto berkata bahwa, “buku-buku memilih siapa yang ingin membeli mereka”. Dalam sebuah konteks, saya mengartikannya sebagai buku memilih siapa yang membacanya, bukan orang yang memilih untuk membaca buku apa.

Mungkin di sini saya juga tidak memilih untuk secara sadar untuk menonton telenovela dari Korea ini, melainkan saya memilih untuk dipilih oleh karya tersebut untuk menyerap cerita-cerita dan segala konflik yang ada di dalamnya. Hahaha. Saya tidak bisa dipilih begitu saja oleh hal yang ada di luar saya secara sepihak. Saya pun memiliki hak dalam memilih untuk dipilih.

Saya tertarik dengan serial ini karena menurut sebuah selentingan kabar, serial ini mengisahkan konflik bisnis di dalamnya. Saya yang masih memiliki minat dalam dunia bisnis, tentunya menjadi penasaran dan ingin belajar santai dari apa-apa yang terdapat di dalamnya. Dan berdasarkan sebuah penuturan teman, saya diharapkan untuk tidak memiliki ekspektasi tinggi bila memang itu jadi alasannya, karena tidak begitu dalam membahas bisnis.

Well, perkataan teman saya benar. Saya yang tidak mencari-cari tahu lebih jauh ulasan di luaran sana menuruti keinginan dia dengan tetap berusaha akan menikmati waktu saya dalam menontonnya. Bagi yang belum menonton serial ini, perkenankan saya untuk merangkum satu season Itaewon Class dalam sebuah premis cerita. Itaewon Class ini adalah sebuah kisah dari tokoh bernama Park Saeroyi yang ingin membalaskan dendam kepada sebuah perusahaan makanan bernama Jangga.Co, namun di tengah jalan ia dihadapkan pada kekuatan yang sangat besar dari lawannya tersebut dan terlibat dalam konflik cinta segi empat bersama cinta pertamanya semasa sekolah dulu dan pegawainya di perusahaan yang sedang ia bangun.

Pengalaman menonton serial biasanya dilakukan dengan cara marathon menonton setiap episodenya. Saya berusaha menahan hal demikian karena terkait dengan kegiatan lain dalam kehidupan manusia, hehe. Dengan metode itu, saya biasa menontonnya pada malam hari, sebagai pengantar tidur di waktu yang sepi dan sudah gelap. Keputusan saya ternyata salah. Betul-betul salah.

Ada sebuah perkataan yang berbunyi “Berhati-hatilah terhadap mulutmu ketika bersama orang lain, dan berhati-hatilah terhadap pikiranmu ketika kamu sendiri”. Pertahanan saya lengah karena ketidak hati-hatian tersebut. Waktu malam adalah waktu tersunyi yang dimiliki manusia, yang sering digunakan untuk menenangkan pikiran, mencari inspirasi, atau bahkan melakukan refleksi pada apa yang telah terjadi. Waktu menonton yang sering dilaksanakan di atas pukul 10 malam ini justru mengacak-acak perasaan saya melalui pikiran yang semakin liar setiap beres menonton satu episode.

Tidak pernah ada satu warna rasa apalagi rasa tunggal yang muncul ketika beres menonton episode tiap episode. Selalu ada perasaan heart-warming sekaligus kekosongan, ada rasa bangga sekaligus kecewa, selalu ada api semangat yang bisa muncul tiba-tiba sekaligus ditemani perasaan putus asa. Semua muncul di saat bersamaan, tidak pernah saling bergantian. Pengalaman itulah yang selalu mengacak-acak saya ini. Serumit itu yang saya rasakan.

Itaewon Class tidak hanya sebuah tontonan bagi saya. Ia adalah sebuah pengalaman yang buat saya sendiri bisa disikapi sebagai sebuah pengalaman berharga. Sudah lama saya tidak merasakan emosi yang diaduk-aduk seperti ini.

Saya pun ingin memberi hormat setinggi-tingginya kepada pemilihan lagu latar dalam serial ini. Nomer-nomer lagu yang diputar di sini begitu menghidupkan suasana dan membawa emosi luar biasa. Walaupun hampir semuanya berbahasa Korea yang sama sekali saya tidak mengerti, tapi lagu-lagu “bernuansa minor” ini menusuk dada saya di setiap penggalan adegan yang dipasang begitu tepat. Menyimpan beban berat dalam paru-paru sehingga napas saya menjadi lebih pendek setiap saya menonton ini.

Pengalaman-pengalaman menonton tersebut yang akhirnya membuat pertahanan yang saya bangun runtuh seketika selepas tamat menonton Itaewon Class. Ada dua lagu tambahan yang bisa membuat saya tidak karuan selepas mendengarnya sekarang. Dua lagu itu didapat dari drama ini. Dua lagu itu adalah berjudul ‘Someday, The Boy’ dan ‘Still Fighting It’.

Melalui dua lagu itu, saya sadar saya sedang berada dalam keadaan tidak baik-baik saja. Berdasarkan pada apa yang sedang saya alami sekaligus apa yang saya lakukan sehari-hari. Pertanyaan-pertanyaan dasar sebagai bahan bakar hidup kembali menyeruak, membuka mata saya kembali bahwa banyak yang harus saya lakukan dan berikan pada orang di sekitar saya yang belum bisa saya penuhi. Pertanyaan macam ‘Apa tujuan kamu?’, ‘Bagaimana kamu ingin menjalani ini semua?’, ‘Kenapa kamu melakukan ini?’, dan sejawatnya muncul kembali.

Ketika pertanyaan itu muncul, saya tertampar oleh diri sendiri, bahwa saya tengah kehilangan diri saya sendiri. Saya jauh dari diri saya sendiri. Dan itu sangat menyakitkan, setidaknya bagi saya. Kepedihan yang sangat menyedihkan, mungkin? Bisa jadi.

Pada saat saya mendengarkan lagu tersebut, saya tidak mengerti artinya sama sekali karena yang satu mengandung lirik berbahasa Korea yang saya tidak paham sama sekali dan yang satu lagi saya tidak mendengarkan nyanyian sebagai sebuah vokal yang mengandung lirik, melainkan sebuah instrumen saja seperti alat musik lain seperti piano. Bisa dibayangkan bagaimana sembabnya mata setiap hari bila harus menguras emosi akibat lirik yang terkandung dalam kedua lagu tersebut yang segera saya pahami maknanya seketika saya menonton episode demi episode.

Saya coba memainkan kedua lagu tersebut pada sebuah keyboard dingin yang sangat jarang tersentuh. Begitu saya memainkannya, lebih dalam saya larut dalam perasaan. Pecah tangis sejadi-jadinya setelah memainkannya beberapa kali. Bukan karena cerita dalam Itaewon Class yang bersisa dan meninggalkan kesan, melainkan pada bayangan masa lalu yang tak bisa diubah lagi.

Kalau saya bisa, ingin sekali bisa membuat diri menjadi dua. Melontarkan kata makian sebanyak-banyak pada orang yang ada di hadapan saya itu, bertanya banyak hal, mendengarkan jawaban, dan diakhiri dengan sebuah pelukan hangat. Setelah itu kami tersenyum sebagai simbol sebuah gencatan senjata dan kesepakatan baru.

Apa yang telah saya lakukan rasanya seakan tidak cukup baik saat ini. Pelajaran dan pengalaman yang telah didapat sangat tidak cukup. Saya masih harus berusaha memperbaiki banyak aspek dalam hidup. Lebih keras, lebih cerdas, lebih ikhlas. Klise. Tapi, mungkin memang itu jawabannya. Siapa yang tahu?

Apakah serial ini bisa dikatakan mengubah hidup saya? Biarkan waktu yang menjawab, ditemani oleh saya yang mencari tahu.

Mengulang Hari Dalam Groundhog Day

                Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu bisa mengulang waktu dan kembali ke hari yang telah kamu lalui sebelumnya? Mungkinkah kita menjadikan hari itu lebih baik atau justru menjadi bertingkah laku semena-mena karena tahu apa yang akan terjadi kemudian? Pengalaman menonton film Groundhog Day akan membawamu pada kemungkinan-kemungkinan tersebut.

                Groundhog Day adalah sebuah film yang dibintangi oleh aktor Bill Murray yang berperan sebagai Phil, seorang reporter sebuah stasiun televisi. Phil ditugaskan meliput acara tahunan Groundhog Day yang berisi ramalan durasi musim dingin yang akan terjadi. Ketika liputan telah selesai dijalankan, Phil beserta kedua kru dari stasiun televisi tersebut terjebak oleh keadaan cuaca sehingga mereka tidak bisa kembali ke kota asalnya. Terpaksa mereka menetap dan bermalam kembali. Namun ketika keesokan harinya, Phil  menemukan kejanggalan bahwa ia tidak hanya terjebak di kota tersebut, melainkan terjebak di hari yang sama saat festival Groundhog Day terjadi. Setiap harinya ia bangun pukul 8 pagi mendengar bunyi alarm yang serupa dan menemui kejadian yang sama persis di setiap penjuru kota. Setiap pagi ia mengawali hari yang sama dari hotel tempat ia menginap.

            Film keluaran tahun 1993 ini dikemas dengan apik karena detail-detail kejadian yang sama tergambarkan dengan jelas. Berupa baju yang dikenakan, dialog-dialog pemeran pendukung yang sama persis, pengambilan sudut gambar, hingga furnitur-furnitur dan keadaan kota bisa kita temui tanpa perbedaan di setiap hari yang dilalui oleh Phil. Justru ketika menonton film ini saya cenderung merasakan setiap peralihan skena adalah sebuah pengambilan ulang gambar dari skena yang sama.

                Rasa bosan yang menghinggapi Phil karena ia harus selalu bertemu kejadian yang serupa justru mengubah hidupnya. Ia yang arogan dan bersikap acuh tak acuh kepada lingkungan sekitar, sedikit demi sedikit berubah. Ia belajar dari kesalahan dan pengalaman di kejadian sebelumnya untuk bisa bertindak lebih baik di kesempatan selanjutnya, karena ia tahu bahwa ia akan terbangun lagi dan lagi di hari yang sama dan mengalami kejadian yang sama lagi, namun ia bisa menanggapi kejadian itu dengan cara yang berbeda, dengan menampilkan kepribadian Phil yang berbeda dari yang sebelumnya ia punya.

          Secara keseluruhan saya memberikan nilai 9 dari 10 kepada film ini. Ide ceritanya sederhana. Serupa gunung es, sederhana itu hanya tampilan yang tampak di atas permukaan air, banyak hal yang bisa kita dapatkan bila kita melihat lebih dalam, menyelam mengamati keseluruhan bentuk dari gunung es. Untuk mengisi waktu senggang, film ini saya rekomendasikan untuk dinikmati bersama keluarga di waktu libur.

 

317/365
14 November 2018

Apa Yang Sewajarnya Terjadi di Kedai Kopi

                Sebuah film yang menampilkan artis-artis ternama di Amerika dalam kumpulan cerita pendek berlatarkan kedai kopi berjudul Coffee and Cigarettes tidak akan pernah benar-benar tercipta di zaman kiwari. Film ini menceritakan ragam adegan dan dialog yang mungkin dan umum terjadi ketika orang-orang bertemu untuk meminum kopi bersama.

                Bagaimana orang hanya ingin bertemu tanpa ada yang ingin dibicarakan. Bagaimana orang mau menikmati waktu sendiri. Bagaimana orang kehabisan kata untuk bicara dan berusaha sekuat mungkin menjauhkan kesunyian dan kekosongan meja mereka dari sebuah pembicaraan. Bagaimana pula orang mengomentari rokok yang dibakar dan dihisap ketika berteman dengan secangkir kopi. Bagaimana juga caranya interaksi tetap terjalin tanpa menyinggung perasaan lawan bicara kita. Dan bagaimana-bagaimana lainnya semua terkumpul dalam film ini.

                Tentunya hal-hal demikian akan bisa disederhanakan dengan mudah di zaman kiwari ini. Ketika kita kehabisan topik bahan untuk bicara di masa dewasa ini kita bisa berlari ke gawai kita, membuka media sosial, mencari “kehidupan lain”. Saat kita merasa tersinggung dengan sebuah perkataan dari lawan bicara kita, kita bisa langsung bersikap acuh tak acuh dengan tatapan beralih ke gawai kita. Sudah tidak ada seni lagi dalam berbincang sesama manusia di kedai kopi. Atau sebut saja interaksi yang bersifat nyata itu sudah berada di titik nadir dalam kehidupan kita. Selain karena hal tersebut, ketika kita berkumpul bersama teman atau kerabat ketika berada di kedai kopi, kita mementingkan konten untuk ditayangkan di media sosial kita dengan “mengabadikan momen” melalui swafoto atau foto bersama. Hilang sudah momen yang abadi yang dapat tercipta dari obrolan-obrolan ringan hingga sangat dalam saat bersama orang yang kita kasihi. Ikatan yang tak kasat mata tapi sungguh terasa nyata perlahan-lahan semakin tipis karena kepentingan konten di media sosial tersebut. Kita seringkali lebih mementingkan tampak dekat dengan beberapa orang dengan konten foto tersebut daripada betul-betul dekat dengan orang yang kita temui.

                Tidak ada salahnya kita berfoto dengan orang-orang yang memang dekat dengan kita. Tapi bila kegiatan foto bersama dan kemudian setelah foto masing-masing kita langsung sibuk mengunggah kebersamaan sebagai sebuah konten di setiap pertemuan, maka esensi apa yang masih kita dapatkan dari pertemuan itu? Ada sebagian waktu, tenaga, dan pikiran yang kita sisihkan untuk bertemu dengan orang-orang tersebut. Akankah semua hal yang kita sisihkan itu menjadi mengambang dalam kesia-siaan demi sebuah konten? Tentunya sangat sayang bila jawaban itu adalah iya.

                Sedikit membahas tentang film Coffee and Cigarettes sendiri, film yang dirilis pada tahun 2003 ini berwarna hitam putih, walaupun sebenarnya sudah ada teknologi film berwarna. Semua pemeran di film ini memerankan diri mereka masing-masing. Aktor Bill Murray berperan sebagai seorang Bill Murray, begitu juga dengan Steve Buscemi ataupun Iggy Pop dan yang lainnya. Tidak ada transisi antara cerita satu dan selanjutnya. Semua adalah kumpulan cerita terpisah dengan pemeran yang berbeda di setiap ceritanya. Artis-artis ternama dikumpulkan dalam suatu kumpulan cerita yang sederhana, mencoba menarik perhatian khalayak untuk menonton film ini. Untuk saya pribadi ketika saya menonton film ini saya seperti berada di kedai kopi menyajikan minuman sebagai seorang jurubar — atau secara awam disebut barista, dan menyaksikan ragam tingkah polah konsumen di meja-meja yang berbeda. Tanpa gawai pintar mereka. Di setiap mejanya hanya ada konsumen yang berbincang langsung, gelas-gelas kopi, kepulan asap rokok dari setiap meja, dan cerita yang benar-benar (sepatutnya) terjadi.

                Dalam film Coffee and Cigarettes bila tayang dalam waktu belakangan ini, tentunya akan menjadi sebuah kritik bagi kita semua bila dilihat dari sudut pandang yang tepat tentang apa yang seharusnya terjadi di sebuah kegiatan minum kopi bersama: berbicara, bercanda, berdiskusi, bertukar kabar, berbagi pengalaman, hingga membual sekalipun. Semoga kita semua kembali menjadi homo socio yang asli, bukan homo medio socio.

315/365
12 November 2018

Hanyut Dalam High Hopes Milik Kodaline

                Malam itu, Bandung diguyur hujan yang sangat deras. Dan aku hanya bisa terpaku di depan layar laptop temanku. Ditemani dengan internet kencang di saluran youtube, fitur mode autoplay membawaku menonton clip dari sebuah band bernama Kodaline dengan single-nya High Hopes. Entah kenapa tayangan itu menghujam dadaku. Padahal liriknya aku tak paham sama sekali isi maknanya. Aku hanya tahu kombinasi hujan, nada lagunya, dan tayangan cerita di video clip tersebut. Terasa sangat dalam walau tak begitu dekat. Terasa begitu menyayat.

               Aku tahu lagu tersebut telah lama, kala seringkali temanku menyanyikannya dengan gitarnya. Tak jarang pula yang lagu tersebut tersetel dan aku dengarkan dengan seksama. Tapi tak ada yang istimewa sebelumnya. Cukup enak dan mudah dinikmati. Tapi ketika aku melihat clipnya semua berubah begitu drastis. Ada nuansa gelap dan sakit dari pembawaan video tersebut. Mungkin aku berlebihan. Mungkin juga sutradara dalam pembuatan video musik tersebut terlampau cerdas untuk menyampaikan pesan dari si lagunya. Atau bisa saja ia bisa mendramatisir cerita sehingga rasa yang ada dalam lagu tersebut tersampaikan dengan hakiki kepada para penontonnya.

                Dua orang yang seakan terikat dalam suatu jalinan cinta tulus tersaji dalam video tersebut. Diawali dengan skena sang pria tua yang berniat bunuh diri dengan metode mengunci diri di dalam mobil yang menyala dengan saluran asap pembuangan dari knalpot ditambahkan selang sehingga asap knalpot bisa masuk lagi ke dalam mobil yang ia diami. Berharap tidak ada oksigen yang bisa ia hirup dan napasnya hanya terdapat gas karbon monoksida yang beracun. Hingga akhirnya ia kehabisan nafas dan terlelap mencabut nyawanya sendiri. Namun kemudian sebelum kesadarannya hilang datang seorang wanita mengenakan gaun pengantin dengan di belakangnya terdapat gerombolan lelaki yang mengenakan tuxedo. Saya menangkap bahwa wanita tersebut lari dari sebuah ritus pernikahan, dan memilih untuk bersama sang lelaki tua di dalam mobil.

          Cerita berlanjut dengan kehidupan sang wanita dan laki-laki itu ketika bersama setelah melarikan diri dengan mobil yang sama. Senda gurau, raut bahagia menggambarkan kehidupan mereka yang berwarna cerah saat bersama. Saling menerima apa adanya dan menjadi pribadi asli mereka tanpa beban apa-apa. Hingga suatu waktu mereka pergi bertamasya dan tanpa disadari mereka dihampiri oleh salah seorang dari gerombolan lelaki yang disebutkan di awal. Mungkin ia adalah mantan calon suami si wanita itu. Lelaki itu menembakkan shotgun ke arah sejoli yang kabur itu. peluru menghantam tubuh si pria tua menembus hingga sampai pula peluru itu ke tubuh sang wanita. Sang wanita mati di pelukkan sang pria tua. Pria tua melanjutkan hidup dengan kekosongan setelahnya. Tak ada lagi raut bahagia yang pernah menghampirinya. Semua hilang bersama harapan yang pupus ditembak peluru shotgun. Video ditutup dengan sang pria tua yang terbaring di kasurnya sendiri menatap kosong dan jauh.

          Kalau kamu belum pernah menonton videonya coba sempatkan waktu sesekali melihatnya. Utamanya kala hujan. Suasana hatimu yang sebenarnya sedang biasa saja, bisa mendadak muram kemudian. Walau kamu tak pernah bersinggungan sedikitpun dengan cerita yang ada di dalam video tersebut, kamu pasti akan merasa seperti penonton yang berada di tempat kejadian semua peristiwa tersebut atau lebih lagi, kamu adalah seorang sahabat dari si pria tua dan kamu bisa merasakan empati atas semua kejadian yang menimpa sahabatmu si pria tua tersebut. Disarankan untuk menontonnya dengan kualitas video terbaik yang disediakan oleh youtube. Ketika sudah usai menonton video tersebut, keluarlah, bersembunyi di balik hujan deras, agar air matamu tersamarkan.

                Eits, ternyata videonya belum beres. Ada apa di akhir ceritanya?

Kodaline – High Hopes

314/365
11 November 2018

Indomie Rasa Mi Aceh : Gabungan Dua Rasa

          Dari sepiring Indomie goreng kita tahu bahwa surga itu nyata adanya. Setidaknya surga itu tercecap di papila-papila lidah kita. Dimulai dari Indomie goreng original yang telah tertancap kuat di dalam otak dan pikiran kita, hingga pengembangan produk dengan menawari konsumen melalui varian rasa yang terinspirasi dari cita rasa nusantara. Dalam tulisan ini saya akan mengulas satu rasa pengembangan dari produk Indomie goreng yaitu Indomie goreng Mie Aceh.

                Siapa yang belum pernah mencicipi Indomie goreng original, mereka-mereka adalah kaum yang merugi. Bagaimana mereka bisa tidak tergoda untuk mencicipi rasanya ketika kita sedang berdiam diri di warung pinggir jalan hingga sekelas kafe waralaba di Indonesia terdapat orang yang memesan Indomie goreng dengan baunya yang mengaktifkan produksi air liur di dalam mulut kita. Aroma yang begitu nikmat melambai-lambai menerobos dan menggetarkan bulu hidung kita hingga mengaktifkan rasa lapar di dalam perut. Ada-lah sekiranya satu detik tersirat di dalam benak kita untuk memesan juga hal yang sama dari menu tersebut, terkuasai nafsu sendiri walau perut sebenarnya tidak benar-benar lapar.

            Rasa lapar yang menular dari aroma Indomie goreng itu sukses meningkatkan omzet perusahaan Indofood karena otomatis penjualan mereka pun bertambah. Belum karena ditambah Indomie ini menjadi barang darurat penahan lapar, baik bagi kaum mahasiswa yang tinggal di kosan hingga sebagai bantuan makanan utama bagi para korban bencana. Untuk mempertahankan omzet penjualan yang tinggi sekali hingga telah mencapai ubun-ubun sang direktur perusahaan, tentu tak ada salahnya perusahaan terus berinovasi dari rasa yang ditawarkan untuk para konsumen. Sudah ada sebelumnya Indomie goreng pedas, rasa rendang, rasa sambal matah, dan kemudian yang baru saja saya coba adalah rasa mie aceh.

                Mie aceh yang saya kenal memiliki komposisi di dalam piring tersaji berupa, mie, potongan daging sapi, daging ayam, telur, lalu topping tambahan berupa acar bawang merah dan timun segar, bawang goreng dan emping sebagai pelengkap. Mie dimasak dengan berbagai bumbu rempah yang kuat membuat lidah menari-nari di setiap suapannya. Rasa pedas yang didapat dari sambal sebagai pilihan untuk menikmatinya pun tak luput dari peningkat kenikmatan dalam mengisi perut ini. Dalam setiap suapannya saya sangat meresapi rasa bumbu rempah yang kuat dari mie akan bercampur dengan segar asam dan kecut dari acar. Itulah kenikmatan hakiki yang saya dapat dari seporsi mie aceh.

        Kenikmatan itu pula yang saya imajinasikan akan saya dapatkan dari sebungkus indomie rasa mie aceh ini. indomie mie aceh ini secara kasat mata langsung memiliki perbedaan dengan indomie rasa lainnya. Dari ukuran mie saja, Indomie rasa mie aceh ini memiliki ukuran yang lebih tebal dan besar dibandingkan dengan Indomie goreng rasa lainnya. Sedangkan jumlah bumbunya berisi sama dengan jumlah bumbu Indomie goreng original. Terdapat 3 macam bumbu berbentuk cair dan dua macam bumbu berbentuk bubuk.

indomie-mie-grg-aceh-90gr-pcs
Sumber gambar : steemitimages.com

                Saya masak sebungkus indomie rasa mie aceh ini sesuai dengan petunjuk yang tertera di bagian belakang bungkus, tanpa menambah lagi bahan lain semisal saos sambal instan ataupun telur. Saya rebus mienya di dalam air. Sambil menunggu mie matang saya siapkan bumbu di dalam mangkuk. Bau dari bumbu itu menyengat, sama seperti bumbu Indomie goreng rasa lainnya. Ketika selesai mie direbus, saya tiriskan mie tersebut dan menuangkannya langsung ke dalam mangkuk berisi bumbu. Aroma mie bersentuhan dengan bumbu menyeruak ke seantero dapur. Sangat sedap. Sambil mengaduk mie dan bumbunya saya menikmati perut menyanyi-nyanyi sedang mulut dilanda air bah liur, tak sabar menyantapnya. Aroma yang muncul pada saat mengaduk mie tersebut sekilas seperti saya sedang memasak indomie rasa rendang.

                Setelah tercampur dengan rata bumbunya, saya cicipi sedikit, barang sesuap atau sesendok makan. Sluuuuurrrrppp. . . inikah mie aceh? Lezat betul. Tapi kenapa saya seperti memakan indomie goreng rasa rendang bercampur dengan rasa sambal matah? Kesan rempah memang begitu kuat terasa di suapan pertamanya. Kesan rempah tersebut sangat mirip dengan kesan rempah dari indomie goreng rasa rendang. Cecap-cecap lagi, dan rasa asam-asamnya sedikit-sedikit muncul juga di bagian pipi dalam rongga mulut. Sensasi asamnya sangat serupa dengan sensasi asam dari Indomie goreng rasa sambal matah.

                Kalau boleh disimpulkan, maka Indomie goreng mie aceh ini adalah produk eksperimen tak sengaja ketika bumbu rendang yang berjumlah 70 % bercampur dengan 30 % bumbu sambal matah di dalam ruangan staf riset dan pengembangan produknya. Lalu kemudian diracik lagi lebih lanjut, dengan salah satunya penambahan ukuran dari mie tersebut. Sedikit rasa kecewa dari produk ini adalah karena secara selera pribadi, saya menikmati mie aceh asli dengan rasa asam yang begitu kuat di setiap suapannya, karena saya sangat menggemari acar dari mie aceh untuk dimakan dalam setiap suapannya, sedangkan yang terdapat dari Indomie rasa mie aceh ini, tidak memenuhi selera pribadi saya.

Walau begitu, tetap saya melanjutkan kegiatan makan saya dengan menu Indomie mie Aceh di rumah. Saya pun tetap bisa menikmati produk ini. Tentunya saya makan dengan nasi. Karena apalah perut lapar saya ini bila hanya dengan sebungkus Indomie tanpa seporsi nasi.

 

245/365
3 September 2018

Kejujuran Mendapat Kepercayaan (Ulasan Film The Invention of Lying)

                Terkadang orang lebih memilih untuk merasakan pahit dari kejujuran daripada manis dari kata dusta. Ada berbagai alasan, mungkin salah satunya adalah karena kita akan mencoba menerima jahatnya sebuah kenyataan bagaimanapun perihnya, daripada terbenam dalam dunia ilusi. Dan coba mari kita bayangkan terdapat dunia yang tidak berisi kebohongan sama sekali. Hanya ada kejujuran dan semua perkataan adalah blak-blakan. Bohong yang tidak semata-mata karena menutupi sebuah kenyataan akibat keadaan terdesak, tapi juga dalam keadaan untuk memuji, menjilat atasan, bahkan menghibur orang lain yang sedang dalam keadaan bersedih.

                Tengok sedikit (atau lebih baik tonton secara penuh) film berjudul The Invention of Lying. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Ricky Gervais serta Matthew Robinson ini adalah sebuah gambaran dunia, di mana orang-orang di sana benar-benar mengutarakan apa yang ada di dalam benak mereka. Bila seseorang sedang tidak ingin pergi ke kantor, maka ia akan langsung berkata ia sedang malas. Bila seseorang merasa lawan bicaranya buruk rupa, maka ia akan langsung bilang tanpa tedeng aling-aling. Memang terdengar agak kasar,  tapi memang begitu sifat alami orang-orang tersebut. Sifat jujur tersebut bergaris lurus dengan rasa percaya penuh yang dimiliki oleh orang yang sedang berada dalam posisi pendengar atas apa yang sedang didengarkannya. Tak ada rasa penasaran untuk bertanya lebih jauh terhadap sebuah pernyataan yang dibuat, tak ada unsur kritis dalam sebuah perbincangan. Semua jujur dan semua wajib percaya.

                Hingga pada satu kesempatan sang tokoh utama bernama Mark Billson yang diperankan oleh Ricky Gervais sendiri berada pada keadaan terdesak untuk berkata tidak jujur ketika berada di sebuah bank. Pada saat yang sama itu Mark sadar bahwa ia mampu untuk keluar dari sifat alami manusia di sana. Mampu untuk berkata tidak sesuai fakta dan tetap orang-orang percaya penuh atas apa yang dikatakannya. “Kebohongan” yang telah bisa ia lakukan terus berlanjut hingga akhir film. Banyak posisi di mana ia merasa harus tidak mengatakan yang sebenarnya tapi untuk kebaikan orang lain. Tidak melulu berkata tidak jujur demi kepentingannya sendiri. Ia harus melakukan yang demikian untuk melindungi perasaan orang-orang terdekatnya. Ia harus berkata tidak sebagaimana mestinya demi menghidupkan harapan dan ekpesktasi orang-orang di sekitarnya. Mark Billson yang berprofesi sebagai penulis naskah film ini sempat juga menggunakan “keahliannya” tersebut di dalam pekerjaannya untuk menyelamatkan karirnya.

                Film bergenre drama ini penulis rasa sarat dengan muatan isu-isu sikap manusia terhadap sesamanya. Terkadang kita harus bersikap jujur pada saat-saat terpahit sekalipun, namun terkadang kita harus bisa melihat situasi untuk menyajikan white lie kepada lawan bicara kita. Seberapa pun manisnya kebohongan kita harus mengungkapkan yang sebenarnya kepada orang-orang terdekat kita. Kita tidak boleh terjebak pada situasi untuk berbohong. Kata intinya adalah : “terjebak”. Kebohongan yang kita cipta adalah kebohongan yang kita sadari bentuk konsekuensinya seperti apa. Ketika kita terjebak pada satu kebohongan, itu menandakan kita tidak paham betul dengan konsekuensi apa yang kita bicarakan. Kebohongan tersebut pada akhirnya akan terus menumpuk untuk menutupi lagi kebohongan yang telah dilakukan. Kebohongan demi kebohongan sehingga kita tidak akan dipercaya seutuhnya di dunia nyata. Pada saatnya nanti, biar bagaimanapun kita harus berkata jujur. Kebohongan demi kebohongan itu akan runtuh bersamaan dengan rasa percaya orang lain terhadap diri kita.

                Jalan cerita dan cara penggambarannya yang sederhana membuat cerita ini mudah dicerna dan cocok sebagai tontonan santai yang berbobot. Konflik yang terjadi pun tidak rumit. Cukup bersentuhan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Percintaan, pertemanan, hubungan orang tua dan anak, hubungan bertetangga, hingga urusan pekerjaan mewarnai alur cerita dalam film ini. Menjadikan film ini bisa ditonton walau hanya sendiri, bersama pacar, atau tontonan bareng keluarga terkasih.

 

214/365
2 Agustus 2018

Novel dan Film Memang Tidak Pernah Sama

MV5BODQ3NTM0Nzg3OV5BMl5BanBnXkFtZTcwMTE3MDMxNw@@._V1_SY1000_CR0,0,674,1000_AL_
sumber gambar : imdb.com

   Judul tulisan ini akan mewakili perasaan dan pengalaman bagi beberapa orang yang telah membaca sebuah novel dan kemudian film yang diangkat berdasarkan cerita dalam novel tersebut. Banyak alasan kenapa dua hal itu berbeda dan sering berujung kecewa bagi yang menonton film adaptasi yang diangkat dari cerita sebuah novel. Namun, bagi saya sepertinya karena imajinasi setiap orang itu berbeda dan imajinasi sutradara itulah yang diangkat menjadi film, bukan imajinasi dari pembaca khalayak. Setidaknya imajinasi dari sutradara film yang mengangkat cerita dari sebuah novel akan berusaha sebaik mungkin mewakili imajinasi dari para pembaca novel tersebut.

                Hal ini saya alami lagi pada sebuah karya bernama Norwegian Wood. Karya pertama adalah sebuah lagu berjudul sama yang dituliskan oleh sebuah band bernama The Beatles yang masuk dalam album Rubber Soul rilisan tahun 1965. Lagu tersebut kemudian menjadi salah satu inspirasi bagi Haruki Murakami, seorang penulis Jepang untuk menulis sebuah novel berjudul sama yang diterbitkan pada tahun 1987. Novel tersebut selanjutnya diangkat menjadi sebuah film berjudul (masih) sama dengan diamanahkan kepada sutradara Tran Anh Hung untuk menggarapnya yang kemudian dirilis pada tahun 2010. Saya tidak tahu, mungkin selanjutnya Norwegian Wood ini akan diangkat kembali menjadi komik, tokoh kartun, atau bahkan nama makanan.

                Saya sendiri mengetahui karya ini kebetulan berurutan. Dimulai dari lagunya, lalu kemudian membaca novelnya dan terakhir menonton filmnya. Tidak ada ekspektasi apa pun ketika berniat menonton film ini. Sekadar pembanding saja antara imajinasi yang saya dapat dari novel terjemahan dengan bentuk audiovisual dalam film.

Cerita novel dan film ini berlatar waktu periode tahun 1960-an dan berpusat pada kisah cinta tokoh seorang pemuda Jepang bernama Watanabe pada dua orang gadis. Naoko, gadis satu yang merupakan mantan pacar sahabatnya sejak kecil dan gadis satunya lagi bernama Midori yang merupakan teman satu sekolah tapi berkenalan di sebuah kafe. Watanabe adalah pemuda dengan kepribadian pendiam dan penyendiri. Karakternya pun bukan sebagai pria berkepribadian alfa. Perjalanan kisah cintanya tidak diisi dengan watak dominan dari pria, namun lebih banyak ia mengalir dalam hubungan bersama para gadis tersebut. Bersama Naoko yang mengalami penyakit mental, Watanabe berada dalam posisi sebagai seorang lelaki yang mencintai dan dicintai tapi juga sebagai orang yang harus bisa membantu mengobati penyakitnya, baik sebagai teman atau sesama manusia yang peduli. Sedang bersama Midori yang juga banyak mengalami kepahitan hidup sejak masa kecil, Watanabe adalah sosok lelaki yang dicintai Midori dan diharapkan dapat membuatnya tetap bahagia.

Dalam kisah Norwegian Wood ini juga banyak digambarkan budaya pemuda-pemudi Jepang pada masa 60-an yang sudah mengenal perilaku seks bebas. Dengan bahasa di novel yang vulgar dan adegan-adegan dewasa pada film tentu cerita Norwegian Wood ini tidak layak untuk dikonsumsi oleh anak kecil.

Tidak ada ekspektasi berlebih seperti yang telah disebutkan sebelumnya pun berasal dari panjangnya cerita dan tebalnya buku dari Norwegian Wood yang saya rasa akan sulit untuk dirangkum dalam film yang berdurasi kurang lebih dua jam. Banyak detail cerita dalam novel yang tidak dimasukkan dalam film ini. Tidak ada kekecewaan di sini, hanya pemakluman. Seperti contoh adalah kisah perjalanan Watanabe-Kizuki-Midori yang begitu singkat. Atau contoh lain adalah teman sekamar Watanabe di asrama yang sangat sedikit mendapat porsi dalam film, tapi diceritakan cukup banyak sebagai selingan inti cerita dan sebagai keseharian hidup Watanabe di dalam kampus. Masih banyak sebenarnya, skena yang tidak bisa ditayangkan secara seksama dalam film. Namun begitu, tetap inti ceritanya tersampaikan dengan baik oleh sang sutradara.

Sedangkan penggambaran tokoh dan watak di dalam film layak diacungi jempol. Dari Watanabe, Naoko yang berbicara dengan suara yang pelan, Reiko sesosok wanita yang menemani Naoko dalam perawatan, hingga Nagasawa yang merupakan teman Watanabe di kampus yang merupakan tipikal lelaki idola kaum hawa. Sedikit yang tidak sesuai dengan imajinasi saya kalau tidak bisa dibilang kecewa adalah tokoh Midori. Imajinasi saya menggambarkan Midori adalah sosok wanita yang lebih maceuh dalam novelnya dibandingkan dengan yang tampil pada filmnya. Midori adalah gadis yang lebih tampak periang dan genit dalam imajinasi saya.

Pengalaman menonton film ini biar bagaimanapun tetap menjadi sebuah kesempatan yang menarik bagi saya. Sebuah judul literasi yang mendunia dan berusaha diangkat ke layar lebar dengan hasil yang baik. Kalau saya harus memberi rating film ini secara serampangan berdasarkan pengalaman menonton dibandingkan dengan imajinasi saya maka saya akan memberi nilai 8,1. Sedang untuk novel terjemahannya sendiri saya memberi nilai 9,6. Pengalaman paling berkesan dari film ini saya dapat dua buah. Satu skena di mana Watanabe berada dalam puncak kesedihan di batu-batu besar pinggir pantai ketika mendapat kabar bahwa Naoko meninggal dunia. Emosi meledak seketika di dalam dada saya karena melihat potongan adegan tersebut. Saya ikut larut dalam rasa kehilangan orang-orang terkasih. Jeritannya yang ingin mengalahkan suara desir ombak begitu dalam untuk melepas setumpuk kesedihan. Klimaks cerita yang tersampaikan dengan sangat baik.  Satu lagi tentunya ketika lagu favorit saya Norwegian Wood dinyanyikan solo oleh Reiko di pusat rehabilitasi.

I… once had a girl
or should I say
she once had me

She… show me her room
Isn’t it good
norwegian wood

 

170/365
20 Juni 2018

Diskusi Debat Kusir

MV5BMTM3MjUyMTY1MV5BMl5BanBnXkFtZTcwNzE0MDQ0NA@@._V1_UY1200_CR92,0,630,1200_AL_
sumber gambar imdb.com

         Mereka yang tidak percaya dengan adanya tuhan, seringkali mendapat rasa iba, penasaran, dan ajakan dari mereka yang percaya dengan adanya tuhan. Dalam setiap pertemuan antara dua kelompok orang tersebut hampir selalu terjadi perdebatan tentang teori ketuhanan, dan ujungnya adalah debat kusir untuk saling membenarkan pendapatnya sendiri tanpa mau mendengarkan pendapat dari pihak yang bersebrangan. Dalam film The Sunset Limited digambarkan dengan seksama debat-debat tersebut yang dibawakan atau disampaikan dengan lebih santai dibandingkan dengan gambaran debat yang seringkali terjadi umumnya.

                Dengan hanya diperankan oleh dua aktor yaitu Samuel L. Jackson dan Tommy Lee Jones, film ini hanya mengambil satu latar tempat yaitu kediaman tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson. Karena dalam film ini tidak ada penamaan tokoh untuk kedua pemeran tersebut, maka untuk selanjutnya saya akan sebut saja nama aktornya langsung yaitu Samuel dan Tommy. Film dimulai langsung pada adegan Samuel dan Tommy yang duduk dalam satu meja di kediaman Samuel. Sedikit disinggung bahwa Samuel menyelamatkan Tommy dari upayanya untuk ditabrak oleh kereta The Sunset Limited. Walaupun begitu tidak dijelaskan secara rinci bagaimana Samuel menyelamatkan Tommy dan berhasil membawanya ke kediaman Samuel.

                Dialog dalam film ini tidak melulu berisi debat agama antara mereka berdua. Perbincangan dan diskusi lebih seperti orang mengobrol biasa dengan juga ada pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga, perjalanan hidup, serta pengalaman-pengalaman mereka yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemikiran mereka atas keyakinan yang diambil untuk percaya dengan teori ketuhanan atau tidak percaya dengan teori ketuhanan. Kitab Injil tidak luput juga dari materi perdebatan mereka. Selain itu adegan-adegan sederhana seperti menawarkan minum kopi juga selingan aktifitas berupa makan menambah diskusi yang berat ini justru terkesan akrab, walau sedikit.

                Samuel dan Tommy yang berpegang teguh pada prinsipnya masing-masing tampak tidak ingin secara gamblang mempengaruhi lawan bicaranya untuk memahami prinsip yang masing-masing mereka pegang. Mereka justru lebih banyak mendominasi perbincangan dengan pertanyaan-pertanyaan kepada lawan bicaranya untuk memberi jawaban atau pertanyaan lanjutan kepada diri mereka masing-masing terhadap prinsip yang mereka anut. Menarik, karena dalam hal yang sangat sensitif ini mereka masih menghindari untuk mempengaruhi secara langsung lawan bicaranya untuk berubah prinsip dalam diskusi yang terjadi.

                Bagi anda yang tertarik menonton film ini dan terwakili posisinya oleh salah satu tokoh, maka kita bisa mencoba memahami apa yang dipikirikan oleh pihak yang bersebrangan dengan kita itu. Bagi anda yang atheis, maka anda bisa mendapatkan sedikit isu tentang topik-topik yang dibahas oleh mereka yang beragama itu seperti apa. Begitu juga bagi anda yang percaya akan adanya tuhan, terlepas dari apa agama yang anda anut, anda akan terbantu untuk mengetahui pola pikir mereka yang berada dalam posisi atheis. Semoga ketika menonton film ini anda tidak bosan, karena anda akan seperti duduk dalam satu meja berisi tiga orang, dan anda adalah satu-satunya orang dalam meja tersebut yang tidak diajak berdiskusi, lalu terpaksa mendengar dua orang di depan anda semakin asyik berbicara hal yang sama sekali tidak anda mengerti.

 

159/365
9 Juni 2018

Komentar Terhadap 13 Reasons Why Season 2

66788-2

                Sudah selesai juga akhirnya menonton 13 Reasons Why season 2. Setelah pada season 1 Clay Jensen mencari kebenaran dan fakta-fakta yang terjadi di balik tragedi yang dialami temannya Hannah Baker, pada season 2 ini cerita berlanjut bagaimana upaya untuk menuntut keadilan terhadap segala hal buruk yang dialami oleh Hannah Baker dengan teman sekolahnya, baik yang terjadi di luar sekolah, ataupun di dalamnya. Dalam season ini juga disajikan kembali beberapa cerita di dalam kaset yang telah dibuat Hannah Baker, namun sudut pandang cerita itu dimiliki oleh nama teman yang berada dalam kaset rekaman, bukan lagi sudut pandang melulu dari Hannah Baker.

Masih banyak gejolak emosi para remaja dalam 13 Reasons Why season 2 ini. Amarah, rasa sepi, tekanan lingkungan, penasaran, pencarian jati diri, dan segala krisis yang dialami pada fase remaja ditampilkan dengan apik di setiap episode di sini. Akibat itu semua saya akhirnya sedikit antipati dengan tokoh Clay Jensen di sini. Betapa naif, bodoh dan cerobohnya Clay dalam season 2 ini, walaupun sifat-sifat berani dan baik masih terbawa dari season 1. Banyak hal yang tidak dipikirkan dengan matang dalam mengambil keputusan beresiko memang jamak menjadi ciri khas manusia pada masa-masa ABG. Karena kesalahan-kesalahan pada masa muda akan menjadi pelajaran dan pengalaman yang berarti di kemudian hari. Bukan begitu?

Gejolak kawula muda itu tidak harus menjadi bibit perselisihan terus-menerus di antara mereka. Bentakan, makian, sumpah serapah, tidak serta-merta mengusir teman-teman dari kehidupan kita secara langsung. Walau caranya terdengar begitu salah, namun komunikasi itu tetap terjaga, terlepas dari bagaimana cara penyampaiannya. Putus asa yang ditumpahkan pada sebuah rasa amarah untuk teman yang justru ingin membantu dia kembali optimis, tidak menjadikan pertemanan itu otomatis putus. Ada usaha untuk membangun rasa saling pengertian dari tokoh-tokoh di sini.

Dalam kisah di sini juga kita bisa mengetahui bahwa seorang teman yang lebih dulu meninggalkan kita di dunia dengan segala penderitaan yang dimiliki akibat rundungan dari lingkungan sekitar, tetap bukanlah orang yang sempurna. Teman kita itu juga bisa melakukan banyak kesalahan dan menyakiti orang lain. Atau mungkin bisa kita sebut layak untuk dibenci dan tidak perlu dibela sebagaimana mestinya. Namun, ketika teman kita itu baik terhadap kita, maka kebaikannya lah yang patut kita ingat ketika teman kita telah tiada. Kebaikannya lah yang patut dijadikan pelajaran untuk diambil dan kemudian kita coba tiru untuk diberikan kepada orang lain.

Dibandingkan dengan season 1, 13 episode jilid dua dari serial 13 Reasons Why menampilkan warna dan tone yang lebih cerah. Tidak ada gurat depresi yang saya rasakan ketika telah menamatkan seluruh episodenya. Aman ditonton seorang diri. Entah memang aman, atau karena sebelumnya mental sudah disiapkan karena tahu efek yang didapat ketika beres menonton serialnya di season 1. Walau dengan konflik-konflik dan grafik emosi yang sudah disinggung sebelumnya, cerita di sini yang sudah keluar jalur dari cerita novelnya menampilkan nuansa yang lebih optimistis.

Ada rona yang ingin disebar oleh para orang dibalik layar serial ini. Rona bantuan dan keberanian. Keberanian untuk melanjutkan hidup bagi mereka yang telah menjadi korban pemerkosaan seperti yang tokoh Hannah alami di serial ini. Jangan sampai ada cerita lagi tentang seorang anak yang depresi dengan kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual yang menimpa dirinya hingga harus berakhir kematian dengan cara bunuh diri. Di setiap episode ditayangkan layanan bantuan bagi mereka-mereka yang membutuhkan teman mendengar atas masalah yang menimpa dirinya. Itu baik, untuk mencegah dan menyelamatkan para remaja dari depresi.

Selanjutnya, terdapat efek buruk bagi orang-orang sekitar yang ditinggalkan mati bunuh diri oleh kerabatnya. Itu harus menjadi sebuah bahan pertimbangan seseorang sebelum ia mengambil nyawanya sendiri. Mereka-mereka yang peduli dengan kita, akan ditinggalkan dengan derita dan rasa bersalah yang berlebih. Rasa bersalah karena perhatian yang mereka berikan terasa tidak cukup sehingga harus berakhir dengan bunuh diri. Rasa bersalah karena tidak bisa ikut mencegah tindakan bunuh diri tersebut. Bagi mereka yang masih hidup, itu lebih sulit dijalani dibandingkan dengan harus mengakhiri nyawa sendiri. Menanggung rasa malu dan/atau rasa bersalah lebih berat daripada memutuskan mati. Jangan sampai kita meninggalkan orang yang katanya kita sayangi justru dengan penderitaan panjangan yang justru disebabkan oleh kita. Setidak-tidaknya mereka akan kebingungan dan selalu memunculkan pertanyaan ‘kenapa’ harus mati dengan cara tersebut.

***

                Sampai saat ini saya belum banyak menonton tayangan netflix. Tetapi dari serial 13 Reasons Why ini saya bisa mendapatkan gambaran tentang dunia yang berbeda. Isu pemerkosaan dan pelecehan seksual jarang untuk berani diangkat. Padahal kasus-kasus pelecehan seksual itu nyata terjadi di sekitar kita. Mulai dari hal kecil bagi para pelaku seperi catcalling hingga kasus pemerkosaan yang meninggalkan bekas trauma yang mendalam pada para korbannya. Khusus untuk di negara kita sendiri, cukup untuk menyalahkan korban kasus pemerkosaan yang terjadi. Dalam pemikiran umum korban adalah wanita. Karena kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terjadi bukan karena pakaian wanita yang terbuka atau menggoda. Tak terhitung kasus pelecehan seksual terjadi pada wanita yang berpakaian sopan. Bila kasusnya seperti itu, siapa lagi yang mau disalahkan? Tentu saja para pelaku. Para pelaku kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual tidak bisa mengatur orang lain untuk berpakaian seperti apa, tapi dia memiliki akal dan kemampuan untuk mengendalikan diri, setidaknya dengan tidak memandang korban sebagai objek atau benda. Mereka juga manusia sama seperti para pelaku. Para pelaku sebenarnya punya otoritas kepada diri sendiri untuk tidak melakukan pelecehan seksual.

             Saya acungi jempol juga untuk keberanian mengangkat perilaku homoseksual dalam serial ini. Saya acungi jempol hanya untuk keberanian saja, karena pandangan pribadi saya masih tidak setuju dan tidak suka dengan perilaku homoseksual yang ada. Dunia yang berbeda dalam serial ini juga saya dapati tidak ada isu rasial itu menjadi hal yang patut disyukuri. Tanpa memandang suku atau warna kulit, dalam Liberty High School yang menjadi latar kisah ini, semua berhak berprestasi, semua orang berhak menduduki organisasi-organisasi yang berada di sekolah. Semua berhak untuk menjalin pertemanan tanpa harus terjebak dalam stigma ras tertentu lebih tinggi kedudukannya di dalam masyarakat dibandingkan ras lainnya.

Untuk ulasan season 1 bisa dilihat di sini.

               Tentu, dalam setiap tontonan, dalam setiap hal, ada hal yang bisa kita pelajari dan ada hal yang bisa kita buang jauh-jauh. Tidak usah ditelan atau ditolak secara mentah-mentah. Setelah menonton 13 Reasons Why ini semoga kita bisa saling bahu-membahu mengurangi tindak pelecehan seksual dan pemerkosaan yang terjadi dimulai dari diri sendiri dengan berbagai bentuk. Juga untuk menolong orang yang kita kenal untuk lepas dari jurang depresi dan putus asa. Tabik.

 

157/365
7 Juni 2018

Dua Belas Tahun Masa Pertumbuhan : Boyhood

            boyhood

(sumber gambar : gonewiththetwins.com)

             Dalam sebuah perceraian antara suami-istri, selalulah sang anak yang menjadi korban. Orang tua yang tidak lagi hidup bersama menjadi sebuah masalah perkembangan dari anak untuk  melalui berbagai fase pertumbuhan. Anak yang mengalami fase bocah, remaja hingga dewasa tentulah butuh sosok untuk membantunya berkembang, baik dari segi pola pikir ataupun mental untuk menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang dihadapinya.

                Rangkuman kisah perjalanan seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa dari latar belakang keluarga broken home tersebut dapat kita saksikan dalam sebuah film berjudul Boyhood. Film ini memiliki pusat cerita pada tokoh bernama Mason. Mason yang berumur 6 tahun pada awal film ini dan saudarinya yang bernama Samantha harus menghadapi berbagai situasi sulit bersama sang ibu kandung yang mengasuh mereka sebagai orang tua tunggal. Sementara sang ayah telah satu tahun lebih tidak ada kabar semenjak hidup jauh dari mereka di Alaska.

                Beruntung sang ayah tidak sepenuhnya hilang dari kehidupan Mason dan Samantha. Sang ayah tetap hadir dalam masa perkembangan Mason dan Samantha walau hanya untuk bertemu di akhir pekan. Di luar itu, Mason sendiri harus berhadapan dengan keadaan sang ibu yang mengalami kesulitan finansial sehingga harus berpindah tempat tinggal dan kembali ke bangku kuliah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Selain itu, Mason pun harus mengalami hidup seatap dengan beberapa ayah tiri yang dinikahi ibunya, walaupun kegagalan demi kegagalan menghampiri kehidupan rumah tangga mereka.

                Kehidupan yang memaksa mereka untuk terus berpindah-pindah tempat tinggal pun berakibat terhadap tumbuh dan berkembangnya Mason karena harus terus beradaptasi dengan lingkungan baru sekaligus teman-teman baru. Masa-masa puber seorang anak laki-laki pun diceritakan di sini. Bimbingan seorang ayah tentu diperlukan seorang anak laki-laki untuk menjalani itu semua. Terlihat di sini, bahwa banyak diskusi yang terjadi antara seorang anak dan seorang ayah. Diskusi pelbagai hal ketika sang anak mengalami banyak kebingungan terhadap dunia.

                Dapat kita tarik sebuah kesimpulan juga dalam film ini bahwa, tidak selamanya anak yang broken home berujung pada anak-anak yang nakal dan rentan terjerumus dengan narkoba atau tindak kriminalitas seperti mengutil di toko dan lainnya, selama kedua orang tua hadir dalam kehidupan anaknya walaupun tidak berada dalam satu rumah. Hingga akhirnya sang anak selamat dari berbagai krisis yang dialami manusia pada fase remaja menuju dewasa.

                Menariknya film ini adalah proses pembuatan film tersebut menghabiskan waktu selama 12 tahun dari 2002 sampai 2013. Semua pemeran dalam film ini pun adalah orang yang sama. Baik dari tokoh utama itu sendiri yaitu, pemeran Mason, pemeran Samantha, hingga kedua orang tua mereka. Kita bisa lihat perubahan fisik manusia dari seorang anak-anak yang beranjak dewasa secara nyata di dalam film yang berdurasi lebih dari dua setengah jam ini. Tidak ada efek canggih untuk membentuk perubahan fisik dari para aktor ini. Tidak ada pemeran yang berbeda antara Mason kecil dan Mason yang pada akhir cerita sudah menuju bangku kuliah. Semua dibiarkan secara alami oleh pertumbuhan yang memang seharusnya terjadi pada manusia.

                Untuk penulis sendiri, film ini dapat memberi wawasan dan sudut pandang terhadap cara mendidik anak kelak. Di luar beberapa plot cerita yang bersinggungan langsung dengan kisah hidup penulis, kisah yang diambil dalam film ini benar-benar sederhana, dengan konflik-konflik yang terjadi adalah konflik yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang jamak terjadi, khususnya konflik rumah tangga dan perselisihan antara seorang anak dan ayah tiri.

                Film ini penulis rasa dapat menjadi sedikit rujukan bagi orang yang belum menikah, belum mempunyai anak, atau yang mengalami kegagalan berumah tangga ketika telah memiliki anak. Walaupun sebetulnya kita telah melalui fase-fase menjadi seorang anak dan remaja, tapi tentunya ada hal yang berbeda untuk menghadapi anak sendiri dalam posisi sebagai orang tua untuk mendidik anak-anak menjadi lebih baik dari kita.

154/365
4 Juni 2018