Halusinani

Perjalanan yang singkat dengan Nani. Karena kami hanya bisa menikmati waktu bersama ya segitu saja. Sebentar. Sebentar yang relatif. Kalau bisa ku bilang dia hebat, maka iya dia hebat. Nani meninggalkan kesan yang sangat mendalam padaku. Aku masih ingat dimana pertama kali bertemu dengannya. Dan disana pula aku memiliki pengalaman yang akan kusimpan dalam waktu yang lama. Lama yang relatif.

Diantara banyak pilihan aku memilih Nani. Mungkin disitu ada Eli, Mala, Putri, atau Laya. Tapi tetap aku memilih Nani untuk berkenalan. Kesan pertama yang menakjubkan. Gambaran yang paling pertama aku dapat darinya manis. Sangat manis. Begitu juga harapanku padanya, manis sampai di titik akhir aku harus berpisah dengannya. Manis hingga untuk menunda perjumpaan selanjutnya.

Interaksi pun terjalin dari hubungan yang diawali kehangatan. Kehangatannya itu bersikap manis dan ceria. Membawaku dalam suasana kegirangan. Dalam euforia gila itu aku tak henti bercerita pada temanku Daus. Tentu aku tidak akan lupa sama Daus. Daus lah yang menjadi wingman-ku untuk berkenalan dengan Nani. “Us, Nani manis sekali Us. Aku suka banget!”, wajah sumringah terlukis di mukaku yang tidak ekspresif. Dari awal aku bilang manis, manis, manis terus, memang semanis apa sih si Nani? Iya dia tuh… manis. Kapan-kapan mungkin kamu juga harus berkenalan dengannya.

Tapi namanya berhubungan, tidak selamanya kita berada dalam kehangatan. Itu hanya hangat-hangat tahi ayam. Ketika sudah agak lama aku berkomunikasi dengannya dia pun berubah. Mulai menampakkan sisi lain darinya. Membawa kepahitan untuk menyentuhku. Pada saat itu aku masih berusaha menerima, karena masih ada sedikit pengharapan: “Mungkin dia dapat kembali manis seperti pertama kali jumpa”, begitu pikirku. Syahdan, itu hanya menjadi ekspektasi yang tak pernah bertemu realita. Hubunganku dengannya ternyata tidak pernah membaik. Semakin pahit, semakin pahit, dan semakin pahit ketika suasana semakin mendingin. Aku kecewa. Kenapa kamu begitu padaku Nani? Apakah memang semua yang kenal denganmu kau tempeli grafik emosi seperti itu? Atau kau hanya berikan itu khusus kepadaku. Kamu tidak tahu frustasi bisa mendekap dalam pikiranku. Karena kamu.

Nani.. oh Nani.. aku tak tahan lagi padamu. Cukup aku belajar darimu, kalau aku bisa kecewa juga dengan makhluk sepertimu. Nani.. oh Nani.. biarlah kau berkesan tapi kau tutup kisah ini dengan pahit.

 

*) Cerita untuk biji kopi Gunung Halu dengan penyajian aeropress. Biji yang tersimpan di jar sangat menggambarkan rasanya yang manis ketika diminum. Betul saja, untuk seruputan ketika hangat dia sangat manis sekali. Semakin dingin, dan semakin dingin suhu kopi setelah diseduh, manisnya kian tertutup dan rasa yang paling akhir terasa di mulut adalah hanya pahit. Sebenarnya tidak kecewa dengan rasanya. Berkesan dan lucu untuk diingat.

 

8 September 2016
Kamar Ryan

Misteri Adil

Sampai mana batas keadilan dari manusia? Kalau melanggar aturan, hukum, norma, UU yang ada akan mendapat sanksi berupa denda atau apa pun bentuknya. Saat kamu menaati semua yang berlaku, apa yang kamu dapat? Apresiasinya apa? Beda halnya dengan keadilan yang berkaitan dengan urusan pahala dan dosa. Maka dari itu, keikhlasan adalah tuntutan hidup. Mau tidak mau harus dimiliki semua individu walau sebesar biji stroberi. Ikhlas bukan suatu kebutuhan atau keharusan yang berasal dari dalam diri sendiri. Serasa benar bila dilihat dari satu sisi.

Dalam hukum manusia – sebut saja hukum buatan manusia, kita (seakan) tahu apa sanksi yang akan menjadi konsekuensi bila melanggar salah satu ayat dari pasal yang tercantum dalam buku Undang-Undang.  Sudah tahu ada sanksi, sudah tahu ada salah, sudah terbukti salah, tapi masih ada saja yang (bisa) lolos dari hukuman tersebut. Kalau hukum alam, semesta, dan/atau urusan pahala dan dosa kita tidak tahu secara nyata atau tidak dapat kita terima dan/atau hitung-hitung secara logika dan kita tidak pernah tahu pasti kapan kita akan mendapat balasan atas hasil apapun yang kita telah perbuat. Entah itu baik dan sesuai kodrat serta aturan atau itu buruk dan melanggar apa yang telah ditentukan.

Dari situ ada kemungkinan kita melihat seni yang ada di dalamnya. Seni dari misteri. Bukankah kita menggemari hal-hal yang bernama misteri? Misteri tidak melulu dengan masalah mistis dan supranatural. Misteri yang dimaksud adalah hal yang belum tertangkap dalam panca indera manusia dan maknanya belum tersimpulkan oleh otak. Akan sangat tidak seru bila kita mengetahui hadiah yang terbungkus dalam kado saat ulang tahun, yang diberikan oleh keluarga, kekasih, teman, sahabat, musuh, bahkan orang tak dikenal sekali pun. Tak peduli itu isinya berbentuk lelucon semata, jam tangan yang sangat kita idamkan, benda yang kita butuhkan walau secara tidak sadar kita butuh benda tersebut, atau bahkan hal yang tidak kita harapkan sama sekali. Siapa sih yang mau dihadiahi kepala kucing dalam kotak yang dibungkus dalam kertas kado dan diikat dengan pita. Ada sensasi yang lahir saat kita menebak apa yang akan kita temukan. Sensasi yang memacu adrenalin dalam otak. Sensasi yang melebarkan saluran pembuluh darah, memompa kencang jantung untuk berdetak lebih cepat beberapa saat.

Bila kita melanggar aturan yang berakibat dosa, kita tidak pernah tahu seberapa besar dosa yang tercatat, seberapa dahsyat akibat yang diterima oleh diri sendiri. Kita tidak tahu. Lebih sering tidak mau tahu. Hanya bisa mengandai panas api yang berkali lipat dari panas api yang biasa kita temui di kompor untuk memasak di dapur. Berasumsi hukumannya datang tiba-tiba dengan nama karma. Lain kasus dengan melanggar hukum yang tertera bentuk sanksinya dengan jelas. Tetapi itu, menjadikan lunturnya sensasi tebak-tebakan misteri yang telah disebutkan sebelumnya.

Bilang saja iya, itu merenggut sensasi senang setiap individu manusia untuk menebak apa yang akan kita dapat atas akibat melanggar hukum, adil kah itu? Bagiku sendiri itu cukup adil, bila dilihat dari manajemen resiko. Kita pun perlu tahu resiko yang akan ditempuh atas pelanggaran yang diperbuat. Andaikata kamu seorang diri berniat mencuri ternak seseorang dengan mengacu pada Pasal 363 KUHP, kamu harus tahu kalau sampai tertangkap dan terbukti bersalah, resiko yang kamu akan hadapi adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun dengan segala bentuk kehidupan di balik bui. Itu pun masih batas aman, masih ada resiko lain berupa tambahan hukuman tidak tercantum dalam Undang-Undang berupa hantaman dan keroyokan masa bilamana tidak secepatnya kamu diamankan pihak kepolisian. Dasar orang Indonesia, selalu melihat hikmahnya. Masih beruntung juga kamu kalau ketahuan warga dan diadili dengan dipukuli hanya hingga babak belur, coba kalau habis kamu mencuri, ketangkap warga, terbayang seram dan jenuhnya penjara, malah dipukuli, polisi tak kunjung tiba, belum sempat tobat, kamu pun lalu mati tidak berdaya. AMIT-AMIT!

 

5 September 2016
Kamar Ryan

gambar : requisitoire-magazine.com