Kebutuhan Label-Melabeli Bukan Sebatas Hobi

Sedang lelah di tengah menulis fiksi, kini tiba-tiba ingin saja menulis opini.

Aing pikir sebelumnya, label-melabeli itu hanya dibutuhkan pada produk makanan dan jasa yang diperjual belikan. Ternyata tidak. Label melabeli itu juga digunakan untuk manusia. Seakan-akan manusia berubah menjadi komoditi juga.

Jadi begini. Aing hanya melihat, bahwa kita senang sekali -kalau tidak bisa dibilang butuh- untuk memberi label kepada diri sendiri. Membentuk citra dirinya menjadi sesuatu agar identitasnya diakui. Sebut lah dirimu sebagai orang yang liberal, indie, hipster atau apa pun yang kamu mau tertempel dalam kepribadianmu. Sejurus kemudian kita senang juga untuk memberi label kepada orang lain yang berbeda dengan kita sebagai radikal, mainstream, kafir atau yang lainnya yang bisa memuaskan hasrat diri kita untuk menghakimi orang yang berbeda.

Kesenangan label-melabeli itu nyatanya hanya bersifat searah. Saat kita mau membentuk citra diri dengan label-label yang kita mau dan mencap label kepada orang lain, kita mendadak enggan untuk diberi cap oleh orang lain. Ya, tentu saja karena cap itu terasa terlalu kejam untuk didengar.

Ketika label-melabeli diri sendiri yang memang tidak dilarang oleh aturan apa pun itu berlangsung, entah kenapa berkelindan dengan menghakimi orang yang berbeda sebagai sebuah hak seorang manusia untuk menjalani hidup di muka bumi.

Terjadi, beberapa yang mengenakan baju tertutup dan kearab-araban memberi label orang yang berpakaian kaos dan celana jeans sebagai orang yang liberal bin bablas moralnya. Di saat yang bersamaan ketika ada orang lain yang mencap mereka sebagai radikal, mereka akan terusik dan tersinggung karena seakan itu menghina apa yang mereka yakini, bukan apa yang mereka kenakan. Dan rasanya hal itu terlampau jauh, karena memang yang mereka simpulkan hanya berdasarkan dengan cara berpakaian. Di titik itu pula, di antara mereka sebenarnya tidak ada yang menyinggung apa yang masing-masing mereka yakini secara lugas.

Kesannya, orang yang dicap radikal adalah orang yang berbahaya, karena memang demikian stigma yang sudah menempel akibat disebarkan oleh diksi-diksi yang digunakan media. Padahal radikal sudah pasti berbeda dengan ekstrimis. Begitu juga dengan liberal, kesannya yang menyebar adalah sebagai sebuah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Dan hidup -dalam konteks label melabeli- adalah sehitam putih itu. Sedangkal itu. Seakan manusia hanya berada dalam dua sisi mata koin. Kalau tidak kepala, ya ekor. Tidak ada tuh koin yang dilempar, ketika jatuh ke tanah tidak menghadap kepala atau pun ekor. Tak ada kemungkinan untuk koin itu jatuh dan berdiri tegap tanpa memunculkan muka berupa ekor atau kepala.

Melihat dunia yang sehitam putih itu, pada ujungnya hanya menjadikan kita senang sekali membeda-bedakan orang yang memang secara alamiah itu berbeda. Mentabukan sesuatu yang wajar. Mentabukan sekaligus menghindari perbedaan.

Perbedaan itu nyata adanya. Tapi kita masih dapat melihat dengan sudut pandang lain, yang sayangnya jarang kita usahakan untuk dilakukan. Sudut pandang itu bernama kesamaan.

Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama punya pengalaman hidup yang menggiring kita menjadi kita di waktu sekarang. Kita sama belajar mengerti hidup dengan hasil berupa kesimpulan yang diambil dengan cara masing-masing.

Terlepas dari baik atau buruk. Terlepas dari benar dan salah. Kita sama. Setidaknya sama-sama anak cucu Adam dan Hawa. Sama-sama makhluk yang nista dan kotor. Tidak lepas dari dosa dan salah seberapa pun giatnya kita beribadah dengan cara yang kita yakini masing-masing.

Akal yang menjadi bekal, dibiarkan busuk dalam kotaknya. Bekal tersebut tidak kita nikmati untuk mencoba memahami dulu sebelum menghakimi. Bekal tersebut tidak kita ingat sebelum saling memberi sekat.

Mungkin Aing memang kurang main jauhnya. Hal-hal seperti ini mungkin sebatas remah-remah roti yang tidak berarti di dalam kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Keadaan ini memang mungkin sebatas hal kecil yang menyita perhatian tapi tidak terjadi secara besar dan keseluruhan.

Karena saya percaya, kita ini memang plural seplural-pluralnya. Beragam seberagam-beragamnya. Dari nenek moyang kita. Kita seharusnya sudah terbiasa dengan keberagaman ini. Dan orang yang kegemarannya label-melabeli ini hanya tidak tahu akar sejarahnya seperti apa. Orang yang tidak tahu, cukuplah dimaafkan ketidak tahuannya, dengan harapan ia segera diberi pengetahuan lebih.

Sebetulnya tidak perlu resah-resah amat juga dengan keadaan seperti ini, karena ini mungkin memang hal kecil di tengah anugerah kehidupan kita yang gemah ripah.

Tapi, bukankah duri yang menusuk itu juga berukuran mini dan sangat mengganggu kita dalam melangkahkan kaki?

Kita Butuh Sekali Beralasan, Sehingga Mengganti Kata ‘Enggan’ dengan Kata ‘Haram’ adalah Sebuah Hobi

Mari kita mulai perbincangan kali ini dengan sebuah kalimat klise bin mujarab berbunyi, “manusia tidak ada yang sempurna”. Kalimat yang tak bisa disangkal kebenaran mutlaknya.

Manusia, secara alamiah memiliki keunikannya masing-masing. Punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka dari itu, sebenarnya kita tidak unik-unik amat dan justru kita biasa saja. Tidak pandang bulu lebat atau jarang-jarang. Kita hanya berbeda satu sama lain. Beda dalam minat dan ketertarikan, beda dalam mengambil sudut pandang, beda dalam bentuk wajah, beda dalam ukuran, dan beda-beda lainnya.

Semua itu disebabkan ragam faktor. Baik itu, berupa pengalaman atau pembelajaran hidup, berupa lingkungan, dan takdir. Maka tidak bisa salah, kalau yang satu senang menonton olah raga macam basket, sedang yang lainnya lebih senang mengurung diri dalam perpustakaan berisi buku-buku.

Keberagaman tersebut, selanjutnya mendorong kita untuk mencari-cari kesamaan dengan orang-orang yang ditemui agar bisa terlibat dalam satu obrolan seru dengan topik yang sama. Kita bisa nyaman dengan lingkungan tersebut. Dampaknya kita pun akan merasa nyaman dengan diri sendiri, karena kita merasa diterima di lingkungan sosial kita berada.

Menjadi rumit dan canggung sebuah suasana, saat di dalam satu ruangan yang sama kita bersama dengan orang yang sama sekali tidak memiliki ketertarikan yang sama dengan kita (banyak amat kata sama di kalimat ini, ya). Kita berusaha sekeras-kerasnya mencari topik agar terjadi sebuah obrolan, yang pada akhirnya hanya berujung tanya jawab dengan dua jawaban saja : ‘iya’ dan ‘tidak’. Pernahkan kamu mengalami hal demikian?

Contohnya, begini :

A : Eh, semalam nonton bola ga? Seru abis, coy! Kejar-kejaran skor.

B : Ga, hehe.

Keadaan pun kembali hening.

B : Eh! Gila ya semalem Mawar tereliminasi, padahal nyanyinya lagi bagus banget. Cuma karena vote SMS doang dia kalah sama Very.

A : Siapa itu? Ini kontes AFI atau Indonesia Idol?

B : AFI. Lo ga ngikutin emang?

A : Ooh… engga.

Udara pun begitu dingin dan mati lagi.

A : Eh, itu cicak!

B : Iya.

Mau sampai kapan kalian ngomong ga nyambung satu sama lain, hei!

Salah satu dari mereka melempar pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tak sengaja terlihat sebuah papan catur menganggur. Orang tersebut memutuskan untuk mengajak lawan bicaranya bermain catur. Mendapat tawaran tiba-tiba seperti itu, si lawan bicara menolak. Alasannya adalah haram menurut agamanya. Ia pun memaparkan ajaran-ajaran yang diketahuinya tanpa diminta.

Setelah pengantar yang sungguh panjang, mari kita masuk ke dalam topik utama.

Begini, saya tidak tahu di mana tepatnya batasan agama itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tahapan yang saya tahu dalam melakukan perintah agama adalah dimulai dari keyakinan dalam hati, lalu dilanjutkan dalam tingkah laku dan terakhir diucapkan dalam lisan.

Hal yang mengganjal dalam pikiran saya terhadap kejadian tersebut adalah, perlukah tawaran bermain catur itu ditolak dengan sebuah alasan langsung dengan kata ‘haram’? Saya yakin penggunaan kata ‘haram’ yang digunakan secara serampangan itu justru mengaburkan batasan agama untuk diri sendiri dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kenapa menjadi sulit untuk menolak sesuatu karena memang ‘enggan’? Dan sudah akhiri di situ saja, tanpa perlu alasan lain-lainnya.

Menurut sebuah mazhab dari Hanafi, memang catur itu diharamkan, namun dengan konteks catur yang dilakukan pada zaman dahulu melalaikan orang-orang yang melakukannya dari ibadah. Jadi, sebenarnya bukan catur yang bermasalah, tapi kegiatan-kegiatan apa pun yang menyebabkan orang-orang lalai dari ibadah. Mau itu cari nafkah, tidur, menonton bola, rapat RW, kalau itu akhirnya melalaikan orang dari ibadah, ya salah.

Dalam kasus ini, sebenarnya salah satu orang tersebut hanya coba menginisiasi sebuah interaksi tanpa perlu menggunakan kata, agar situasi tidak canggung-canggung amat.

Syahdan, si penginisiasi itu, tersinggung atas penolakan dengan alasan yang diberikan. Bagaimana tidak tersinggung? Dia tahu betul kalau orang yang menolak itu masih saja suka mabuk-mabukan dan tidak membatasi diri dari zinah. Berani-beraninya dia memberi alasan pada ajakan dengan permainan catur yang tidak disebutkan ‘haram’ dalam kitab sucinya tapi melakukan haram-haram yang lain dengan entengnya.

Belum lagi ditambah dengan topik yang tidak lewat diangkat dalam sebuah pembicaraan orang tersebut dengan teman-temannya yang lain adalah terkait orang. Ngomongin orang. Ghibah lah kalau bahasa Arabnya.

Tak pernah ada kata ‘haram’ tuh waktu si penolak melakukan hal tersebut. Pokoknya semua digas sama si penolak. Pengecualian haram lainnya paling hanya daging babi dan daging anjing saja.

Nah, di sini, pada sebuah hal yang haram kita jadi bisa memilih-milih untuk mana yang tidak dikerjakan atau tidak. Terlepas dari perintah agamanya.

Saya juga kenal orang yang semangat sekali membagikan kata-kata mutiara yang berasal dari agamanya. Niatnya baik, membagi-bagikan kebaikan. Sering juga menasihati tingkah laku sehari-hari saya berdasarkan aturan-aturan agamanya. Tapi, saya juga tahu orang yang sama adalah orang yang hobi sekali menggunakan matanya untuk menonton film porno. Senang berselancar di lautan dunia maya mencari hal yang ‘iya-iya’. Kok saya bisa tahu? Tidak sengaja. Waktu saya sedang menumpang googling di hapenya. Lah, dia browsing ga dihapus history-nya, ga pake VPN, ga pake mode incognito. Apa adanya saja. Selanjutnya saya tahu juga bahwa ia sering berhadapan dengan tembok kekecewaan karena terhalang oleh internet positif. Hihihi.

Kembali ke dialog dua orang tadi, sebetulnya si penolak ajakan main catur itu diketahui belakangan memang tidak bisa dan tidak minat dengan permainan catur. Dan sebetulnya, alasan utamanya hanya sebatas ‘enggan’. Entah apa alasan di balik jawaban yang terlontar itu. Mungkin ia ingin diketahui kalau ia memiliki pengetahuan yang cukup luas akan agama yang dia pilih. Mungkin juga karena ya ia ingin menjalani anjuran dan aturan di agamanya, dimulai dari hal yang dia senangi dan tidak senangi terlebih dahulu.

Menjadi lebih baik dengan mencoba menaati peraturan yang lain berupa meninggalkan yang ia suka namun diharamkan adalah perkara yang berbeda lagi.

Tapi kalau hanya berdasarkan apa yang disuka dan tidak, kenapa mesti beragama? Bukannya saya mengarahkan untuk jadi tidak beragama, ya. Tolong digaris bawahi.

Jawaban hanya sebatas ‘enggan’ adalah jawaban yang harus dibiasakan untuk diucap, didengar lalu diterima. Karena dengan itu, saya tidak usah gosipin orang melalui tulisan ini.

Dear Self, I Love Me

Baru saja usai sebuah pameran bertajuk Dear Self yang dilangsungkan pada tanggal 22 November hingga 30 November di Ruang Segi Empat, Bandung. Acara yang diinisiasi oleh Sufty Nurahmartyanti ini berangkat dari pengalaman pribadinya kala menghadapi situasi hidup yang membuatnya ‘gentayangan’. Terputusnya koneksi antara pikiran, hati, dan badan.

Dari situasi-situasi yang bisa terbilang berat, tentunya sebagai manusia biasa, kita butuh tempat bercerita dan meminta nasihat, bahkan jawaban atas masalah-masalah yang sedang dialami. Pencarian atas kebutuhan tersebut pun telah dilakukan oleh Sufty, tapi tetap ia tak mendapatkan apa yang dicari. Segala jawaban, nasihat, bahkan kata motivasi tiada yang bisa mengobati apa yang tengah dialami Sufty pada saat itu.

Kehampaan itu pun berlanjut.

Wajar, pada saat tertentu, kita benar-benar merasa rapuh. Kala ia tengah berada di jurang terdalam, tangis adalah sebuah obat tanpa resep yang memang tertenggak setiap harinya. Sebelum tidur, bangun tidur, atau waktu lainnya.

Sampai suatu ketika, ia tetap mencari jawaban dan menjaga agar tidak kehilangan dirinya sendiri melalui tulisan. Sebuah surat atau pesan yang dibuatnya sendiri untuk dibaca oleh dirinya sendiri.

Terinspirasi juga oleh sebuah buku berjudul How to Stay Sane karya seorang psikoterapis bernama Philippa Perry, tulisan kepada dirinya sendiri sedikit demi sedikit mengobati kegelisahan yang tengah dialaminya. Tulisan tersebut menjadi sebuah terapi.

Sufty, berpikiran bahwa dia tidak pernah tersendiri. Apa yang dialaminya ini, pasti banyak juga yang mengalaminya di luar sana. Kesulitan mencari jawaban dan berdamai dengan diri sendiri pasti dialami juga oleh orang lain. Setelah ia mencoba melakukannya sendiri, ia kemudian mengajak orang-orang di akun Instagram pribadinya untuk menulis pesan kepada dirinya masing-masing.

Respon dan animo yang muncul ternyata positif, membuat ia pribadi terkejut dengan surat-surat yang dipost oleh orang-orang di story instagramnya dan me-mention akunnya. Apresiasi datang menuju tab direct message dari Sufty. Mengakui bahwa ada sebagai beban dari diri mereka yang terangkat setelah menulis pesan kepada diri sendiri walau singkat.

Mungkin memang, jawaban atas masalah itu sejatinya kita yang punya, kadang kita hanya butuh orang lain mengucapkannya untuk lebih meyakinkan diri atas jawaban tersebut. Atau terkadang kita kurang mengapresiasi diri, sehingga akhirnya pesan, jawaban dan nasihat itu, harus dicari dari orang lain, bukan dari diri sendiri.

Sebetulnya, entah siapa yang benar-benar memulai kampanye Dear Self di dunia ini. Karena, ketika kita mencari kata kunci dear self dalam mesin pencarian Google, telah ditemukan unggahan-unggahan dan konten terkait kata kunci tersebut dari beberapa tahun lalu.

Walau ternyata bukan Sufty yang menginisiasi pesan ‘dear self’ di seluruh dunia, namun kita tetap perlu mengapresiasi apa yang telah dilakukannya. Untuk mengampanyekan dialog dengan diri sendiri di lingkungan kita, menampungnya, kemudian mengembalikannya lagi kepada khalayak dalam bentuk pameran dan menyebarkan kegiatan ini sebaik mungkin.

Saat ditanya kenapa dialog dengan diri sendiri itu harus dijembatani dengan tulisan bukan bentuk lain, alasannya adalah tulisan itu cara yang lebih mudah dibandingkan dengan cara lain. Bisa saja mungkin kita membuat dialog dengan diri sendiri melalui gambar, namun menurutnya, gambar masih memiliki banyak arti untuk dipahami. Bisa jadi pesan yang ingin diberikan justru tidak sampai.

Saya setuju dengan ini. Menjadi sedih bukan, kalau pesan yang dibuat diri sendiri justru tidak dipahami oleh diri sendiri dan memiliki sifat yang multi tafsir.

Kita patut turut senang dan bangga dengan apa yang telah dilalui oleh Sufty. Sebagai seorang ibu yang membesarkan anak seorang diri, dia tetap tangguh dan tidak kehilangan dirinya sendiri. Dia tetap menjaga mentalnya untuk tetap sehat agar bisa menjadi orang tua yang membesarkan dan mendidik anaknya dengan baik.

Kesehatan mental bukan hal sepele. Bukan pula obat atas kesehatan mental itu melulu tentang rasa syukur dan dekat dengan tuhan.

Seperti halnya kesehatan fisik, bila fisik kita sedang tidak sehat, mengobatinya bukan dengan berdoa saja. Ada upaya lain yang dilakukan berupa istirahat, mengonsumsi makanan-makanan segar dan alami, kemudian meminum obat. Begitu juga dengan kesehatan mental, kita tidak cukup hanya dengan berdoa dan mengucap rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Butuh ada upaya dari diri untuk mengobati diri sendiri, mungkin salah satu yang bisa dilakukan memang terapi berupa tulisan dear self ini.

Sayangnya, kultur di kita, masih awan dengan kesadaran kesehatan mental. Jawaban untuk kegelisahan yang dialami masih berkutat kepada banyak berdoa dan bersyukur. Tidak sedikit orang-orang setelah menyuruh orang yang tengah mengalami kondisi mental yang turun untuk banyak berdoa dan bersyukur kemudian bersikap acuh tak acuh terhadap orang tersebut. Kultur untuk lebih peduli terhadap masalah seperti ini belum terbangun di kita.

Diharapkan dengan adanya pameran Dear Self di kota Bandung ini bisa membantu meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya kesehatan mental yang dapat dijaga melalui dialog dengan diri sendiri.

Kalau dari format penulisan dear self sendiri, saya justru terbayang dengan konsep buku diary. Sebuah jurnal yang mencatat segala hal yang sifatnya bisa sungguh sangat pribadi, karena dapat saja berisi segala emosi yang diluapkan, pertanyaan-pertanyaan, orang yang ditaksir, bahkan nama orang yang dibenci sekalipun.

Ketika disinggung pula masalah diary ini, Sufty yang aktif pula di komunitas Teman Tanpa Batas ini sebelumnya juga mendapat komentar positif dari seorang temannya yang mengunjungi pameran. Temannya tersebut membandingkan dengan kebiasaan orang Jepang yang rutin mengisi jurnal pribadi harian. Menurut pengamatan temannya, orang-orang Jepang dapat lebih matang dengan secara emosi sebelum berhadapan dengan dunia luar karena mereka sudah terlebih dulu ‘selesai’ dengan dirinya sendiri sebelum bersinggungan dengan orang lain.

Maka saat mengetahui keberadaan pameran ini, temannya tersebut berharap bahwa gaung kampanye Dear Self ini bisa tersebar ke masyarakat luas. Memberikan manfaat kepada siapapun yang mengetahui metode terapi seperti ini.

Selain pameran, di hari terakhir diisi juga oleh sebuah workshop pelatihan untuk menulis kepada diri sendiri yang dipandu oleh Theoresia Rumthe.

Workshop? Menulis kepada diri sendiri? Melakukan hal yang intim kepada diri sendiri harus dikasih pelatihan?

Iya, pertanyaan itu, juga mengganjal di pikiran saya. Saya kira, untuk hal seperti ini orang bisa melakukannya dengan mudah. Tapi ternyata tidak. Menurut penuturan Sufty, tantangan dalam proses menulis kepada diri sendiri adalah kita seperti menelanjangi diri sendiri.

Bila saya menangkap pernyataan tersebut, sebenarnya kita malu serta tidak siap menelanjangi diri sendiri. Kita sudah terlalu lama membohongi diri sendiri. Dan ketika kita berbicara dengan diri sendiri, kita tahu bahwa banyak hal yang tidak seharusnya terjadi pada diri kita. Menempel pula banyak cap yang tidak sesuai dengan diri kita. Saat diri kita telanjang, kita tidak siap melihat fakta itu.

Untuk mewakili proses penelanjangan diri tersebut, dalam pameran ini ditampilkan juga cermin sebagai simbol untuk kita melihat diri kita seutuhnya. Dari ujung kepala ke ujung kaki. Melihat lebih dalam siapa kita. Apa kita ini.

Dan betul saja, sepulangnya dari Ruang Segi Empat, tempat diadakannya pameran tersebut, selama perjalanan menunggangi motor, saya bertanya, “Saya ini siapa?”

Pertanyaan tambahan muncul juga. “Makna hidup saya apa?”. Beruntung saya ingat sebuah kalimat yang terucap oleh Kak Theo saat workshop.

Tidak perlu mencari-cari makna hidup. Kerjakan saja apa yang kamu mau kerjakan dengan sungguh-sungguh. Makna itu nanti akan muncul juga.