Tentang Terima dan Kasih dalam Terima Kasih

To be thankful is not having POV of taking. Thankful can be a good habit when you have a POV of giving.

It is not what you received. It is not what you have. It is not what you took for granted.

We are thankful because Mother Nature had given us. We are thankful for what people had brought to us. We are thankful for what life had made us.

To be thankful, maybe we need a reason, but we need no comparison.

Tulisan di atas adalah tulisan yang dibuat untuk caption di akun Instagram @Yourgood_

Pada caption yang diberikan pada foto produk bernama Gomawo (yang berarti terima kasih dalam bahasa Korea) tersebut entah kenapa saya teringat pada salah satu video Helmy Yahya yang tayang di Youtube. Entah video yang mana dan sedang melakukan wawancara dengan siapa. Persisnya saya lupa.

Dalam video tersebut, dari apa yang saya ingat sempat tersinggung penggunaan diksi terima kasih dalam berbagai bahasa. Ungkapan terima kasih dalam beberapa bahasa bisa kita sebut contohnya “danke”, “thanks”, “syukron”. Istilah-istilah tersebut cukup menjadi sebuah ungkapan atas rasa terima kasih dengan secara tersurat bahwa pemberi ungkapan sudah menerima sesuatu apa yang dikasih.

Dalam video Raja Kuis Indonesia itu dibahas oleh beliau sendiri bahwa diksi tersebut mengandung pola pikir yang menggambarkan bahwa orang butuh menerima dulu sebuah hal yang dikasih untuk memilki rasa terima kasih. Dengan susunan kata pada diksi itu sendiri pun yang diawali kata “terima” terlebih dahulu dibandingkan dengan kata “kasih”. Si Pemilik Acara tersebut mengkritisi diksi terima kasih dengan mempertanyakan kemungkinan untuk mengubah susunan diksinya menjadi “kasih terima”. Dengan penggubahan tersebut diharapkan orang menjadi lebih mengutamakan untuk mengasih dibandingkan dengan menerima.

Ya, pada tulisan ini, katakanlah saya akan mengambil sudut pandang sebagai pihak yang setuju dengan pemikiran Mantan Dirut TVRI ini. Saya kaitkan dengan rasa bersyukur.

Bersyukur adalah hal yang sering didengung-dengungkan oleh manusia pada umumnya kepada orang lain yang sedang tertimpa musibah atau sedang stress menghadapi terpaan hidup.

Ketika ada orang yang mengeluh tentang kehidupan pribadinya, tidak jarang kita temui nasihat diberikan tanpa diminta yang berisi “mungkin kamu kurang bersyukur kali.”

Iya betul sekali. Semua masalah dan beban pikiran bisa jadi muncul karena kita kurang bersyukur. Itu kata orang-orang. Tapi kalau dalam kalimat itu sendiri sih ya, dengan ada kata “mungkin” di awal kalimat lalu ditutup dengan “kali”, maka betapa tidak yakinnya si pemberi nasihat yang tidak diminta itu akan kalimat yang ia lontarkan sendiri.

Sudah menasihati tanpa diminta, lalu ia pun ragu dengan nasihatnya sendiri. Abang sehat?

Dan memang mudah sekali orang memberi nasihat kepada orang lain. Sedangkan ketika ia sendiri sedang ditimpa beban pikiran, ia menjadi amnesia terhadap nasihat yang ia punya untuk diri sendiri. Apa bisa ketika orang memberi nasihat maka pemikiran itu keluar bersamaan dengan ucapannya? Hingga tak bersisa lagi dalam dirinya kebijaksanaan itu?

Memang, bersyukur/berterima kasih itu adalah hal yang mudah sekaligus sulit.

Kalau kita kembali pada diksi terima kasih maka bersyukur adalah hal yang luar biasa sulit. Karena, kita harus menyadari apa yang kita terima terlebih dahulu untuk menjadi bersyukur. Tidak cukup hanya pada titik anugerah kehidupan dan kesehatan. Kita bisa saja terus membandingkan diri kita dengan orang lain karena banyak orang yang kita temui ya memang berada dalam keadaan hidup dan sehat. Seringkali bersyukur baru terjadi ketika kita bisa membandingkan diri dengan orang yang memiliki nasib “tidak sebaik” kita.

Menjadi hal yang lazim ketika kita menyayangkan dan berduka ketika ada orang yang mendahului diri kita untuk wafat, sedangkan kita tidak bersyukur bahwa kita masih hidup.

Sebagai manusia biasa, tentunya hal yang wajar ketika kita butuh mengetahui apa yang kita terima. Untuk mengetahui hal tersebut, kita seringkali khilaf karena dibuat luput oleh apa yang kita kejar dan ingin genggam, bukan dari apa yang justru telah berada di tangan kita.

Akibat dari itu adalah, kita lupa apa yang sudah kita terima, lalu karena sepaket, kita pun lupa mengasih.

Ibarat kata pepatah, “Sekali dayung, dua tiga pulau tidak ada yang terlampaui”.

Malang nian nasib kita.

Setelah berlelah-lelah untuk terus mencari apa yang kita terima kita pun semakin terpuruk pada jurang perbandingan. Bahwa orang lain menerima lebih dari kita, maka wajar orang lain seharusnya bersyukur. Bahwa kata cukup akhirnya harus mengacu pada orang lain, bukan pada ketercukupan diri sendiri.

Lalu kita mencoba mengubah sudut pandang kita tentang arti bersyukur/berterima kasih.

Bahwa bersyukur tidak melulu harus mengambil sudut pandang sebagai penerima, tapi sebagai pengasih.

Kita bisa mengambil sudut pandang bahwa kehidupan telah dikasih, kesehatan telah dikasih, senyum kebahagiaan telah dikasih, cinta telah dikasih, perut kita telah dikasih makan, dan masih banyak lagi hal lainnya. Lalu pertanyaannya, apakah kita akan menerima apa yang telah dikasih? Atau kita memilih untuk menafikan apa yang telah dikasih dan mengejar hal lainnya agar kita bisa merasa telah menerima?

Pada azas membandingkan apa yang telah diterima orang lain dengan apa yang telah diterima oleh kita sendiri. Setelah memiliki sudut pandang yang diubah, akankah kita membandingkan diri dengan orang lain pada apa hal yang bisa kita kasih pada lingkungan kita tinggal, pada orang-orang di sekitar kita, pada kehidupan itu sendiri?