Di Balik Sebuah Tingkah Luka

Bertingkah laku, setidaknya bisa dibagi menjadi 3 kategori besar. Bertingkah laku di hadapan orang lain, bertingkah laku saat sendiri, sampai yang terakhir bertingkah laku di hadapan sesuatu yang dia anggap lebih besar (bisa tuhan -bila percaya, bisa hanya sebatas alam semesta).

Bertingkah laku di hadapan orang lain atau di lingkungan sosial. Kategori yang paling sulit untuk dijalani. Kesulitan itu terjadi karena teman bicara kita yang berbeda-beda, tergantung situasi, jabatan, status sosial hingga kedekatan emosional. Kita yang dikenal sebagai orang yang kaku di lingkungan A bisa jadi adalah seorang yang bawel tak henti-henti saat di lingkungan B. 

Seseorang yang dikenal sebagai tetangga yang baik di lingkungan rumahnya bisa jadi adalah seorang pimpinan organisasi teroris, yang tak segan mengambil nyawa orang lain demi tercapainya tujuan egois dari kelompok tersebut. 

Para tetangga tiada mengira seorang warga di daerah mereka tinggal yang dikenal ramah, justru adalah otak dari sebuah kejadian pemboman yang menewaskan makhluk dengan spesies yang sama dengan dirinya. Hanya karena berbeda idealisme, hanya karena berbeda cara menjalani hidup, maka ia pun dengan lantang menghalalkan nyawa sesama homo sapiens. 

Hanya satu contoh yang bisa dikatakan ekstrim namun terjadi secara nyata di waktu silam. Bahwa kita akan menjadi seorang pribadi yang mendapat penilaian berbeda di lingkungan yang berbeda pula. 

Apa pasal? Dari contoh kasus tersebut, ia menyimpan luka. Sebagai orang dewasa dan sudah mengarungi pengalaman-pengalaman dalam berinteraksi dengan sesama, ia tahu bahwa menjadi orang yang menyebalkan dalam bertetangga bisa terusir dari lingkungannya. Atau asumsi baiknya, dia sudah membuktikan sendiri sebagai tetangga yang baik, kehidupan di rumah menjadi lebih tentram. 

Beda cerita dengan luka yang diidap saat ia menyaksikan ketidaksesuaian antara ekspektasi yang hinggap di kepala dengan segala kejadian yang ada di dunia nyata. Orang ini melihat bahwa tindakan amoral tidak pantas ada di muka bumi sesuai dengan keyakinan yang ia anut. Dunia yang ideal menurutnya adalah dunia yang jauh dari hingar bingar hedonisme duniawi. 

Ya, kasus tersebut mengacu pada nama-nama macam Imam Samudera, Amrozi dan sejawatnya. Cerita tersebut belum dapat didukung oleh berita-berita yang ada. Mengacu di sini hanyalah contoh tokoh yang disertai asumsi-asumsi. Namun di tempat lain untuk kasus serupa, siapa yang bisa menyanggah memang benar terjadi dan dialami oleh beberapa orang?

Selanjutnya adalah tingkah laku saat sendiri. Hanya ada cermin untuk melihat kebodohan-kebodohan yang dilakukan saat tidak bersama orang lain. 

Orang yang tampak jenaka di dunia luar, bisa jadi adalah orang yang sama yang mengidap depresi di kesendiriannya. Ia murung di dalam apartemennya. Meratapi kesedihan yang entah datang dari mana. Bila pun ada kesedihan, ia tak bisa meninggalkan kesedihan-kesedihan itu di masa lalunya. Ia membawa duka itu di bahunya hingga masa kini dan entah hingga masa kapan. 

Atau orang yang tampak pendiam di kehidupan sosialnya, mendadak sangat menikmati bernyanyi lantang saat ia mandi. Memegang gayung sebagai mic dalam imajinasinya. Ia bisa nyaman dalam kesendiriannya, namun sangat canggung saat bertemu orang. Berharap suatu saat ia bisa tampil di sebuah panggung besar, membawakan lagu-lagu ciptaan Melly Goeslaw atau Ahmad Dhani, namun ia tak berani menyebarluaskan suaranya yang merdu dan menyentuh kalbu. 

Kita tidak sedang membicarakan apa itu introvert atau extrovert. Bahkan kita tidak sedang membicarakan mitos tentang jembatan di antara keduanya yang disebut sebagai ambivert. Ini hanya tentang bagaimana ia bertingkah laku saat sendiri. 

Pada contoh kasus pertama tentang pribadi jenaka yang mengidap depresi, kita mengacu pada seorang aktor Hollywood legendaris bernama Robin Williams. Siapa sangka orang yang terlihat bahagia di depan kamera dan kehidupan sosialnya adalah pribadi yang sama yang menyimpan luka tak terperi untuk dirinya sendiri. 

Contoh kasus kedua, bisa jadi itu mengacu pada kita semua. Sayangnya cermin sudah tersubstitusi oleh fitur kamera di telepon genggam yang sudah menjadi organ tubuh kita juga. Akan terluka bila tak terbawa. Pikiran kalut tak tenang oleh candu bunyi notifikasi yang sebetulnya tak pernah datang jua. Fitur kamera itu membawa kehidupan yang selayaknya hanya diketahui oleh diri sendiri, terbawa untuk dinikmati ribuan orang yang tak kita kenal baik juga, dibantu oleh ragam platform media sosial. 

Saat sedih ditunjukkan pada khalayak ramai. Air mata tidak boleh sampai mengkristal sebelum dipamerkan untuk memperoleh perhatian dunia. Kala senang, tak boleh ada satu pun pengikut akun media sosial kita terlewat mengetahui emosi berbunga-bunga yang melanda. Karena, bila sampai ada satu saja yang terlewat, justru itu yang mengikis dan mengeliminasi rasa bahagia.

Benar apa betul? Tidak juga, memang masih banyak yang tidak bertingkah laku seperti demikian. Kalangan itu, memang lebih senang menyimpan sendiri luka yang dialami, atau justru mereka menghindari untuk melukai saat mereka sedang mengumbar hal yang mereka anggap sebagai sebuah privasi. Dengan begitu, tetap saja tidak menjadikan orang yang menjadikan fitur kamera di ponselnya sebagai penggeser posisi cermin hadir dalam jumlah yang sedikit. 

Mereka-mereka itu adalah kalangan yang sebetulnya saya sangat hargai, karena mereka berani mengambil resiko untuk luka. Ketika apa yang mereka bagikan di dunia maya tentang dirinya ternyata mengundang perundungan berjamaah digital melalui jempol-jempol saja, tanpa menampilkan wajah aslinya. 

Ah! Mungkin itulah fungsi sebuah undang-undang ITE, untuk menyajikan kepada anda semua bagaimana muka-muka yang merundung, memaki dan menghardik, agar kemudian tampil dalam sebuah rekaman video memberikan rangkaian kata klarifikasi. 

Dan terakhir, tingkah laku seseorang di hadapan tuhannya. 

Anggap saja tulisan ini dibuat untuk orang yang bertuhan semata. Kalau kamu atheis, ya maaf kamu tidak dilibatkan untuk disinggung dalam tulisan ini. Suruh siapa ga percaya tuhan.

Seorang pelaku profesi pekerja seks komersial, mengadu pada tuhannya di waktu langit berubah menjadi terang. Bahwa ia jengah dengan cara hidup menjual kemaluannya. Organ yang seharusnya suci dan diposisikan dalam keadaan terhormat justru disinggahi oleh ratusan pria hidung belang. 

Dia menangisi ketidak adilan hidup. Meresapi bahwa organ yang suci itu begitu diburu oleh para lelaki. Kata suci sudah berubah makna baginya sebagai sebuah kemunafikan. Suci nyatanya menjadikannya luka. 

Saat konsumen-konsumennya bicara tentang moral dan pahala di tv nasional, ia seketika muntah. Merasa jijik dengan apa yang didengarnya. “Sok suci!”, begitu gumamnya dalam hati. Tak pernah ia mengucap lagi kata suci, karena lidahnya begitu kelu pada kata yang sudah hilang makna. 

Adilkah? Konsumen-konsumennya berhak menyuarakan tentang suci, namun dirinya tak punya daya barang secuil untuk mengeluh tentang arti suci. Sebagai debu zaman saja, orang-orang seperti enggan memberi label demikian kepadanya. Ia merasa posisinya lebih rendah dari itu di mata masyarakat. 

Selanjutnya, ia mengeluh tentang suaminya pada tuhan. Tentang tingkahnya yang semena-mena setiap ia menang judi bola. Namun selalu menangis-menangis mencari tuhan juga saat keadaan menghimpitnya. Apa yang dikeluhkannya tak jauh dari “cobaan macam apa lagi ini yang Kau berikan, Tuhan?” Haha. Dia tak pernah tahu bahwa suaminya adalah seorang yang humoris. Dia hanya tahu bahwa suaminya hanyalah pria ringan tangan. Bukan untuk membantu meringankan urusan orang, melainkan memberi bekas luka di pipi dan sekujur badannya. 

Dia tak mengerti apa itu karma. Hal yang ia tahu, ia hanyalah mendapat cobaan ketika sedang hidup susah menurutnya. Saat ia sedang mendapatkan kemenangan besar, ia lupa, bahwa tuhan pula yang memberikan kemenangan itu. Bukan karena ia yang jago dalam menebak skor akhir sebuah pertandingan. Dan di mana dia? Mabuk-mabukan di tempat karaoke langganannya. Segala kepahitan adalah cobaan dari tuhan, sedangkan kesenangan adalah hasil jerih payahnya seluruhnya. 

Ia bertemu tuhannya hanya ketika kalah. Menunjukan tingkah sebagai makhluk yang lemah. 

Hanya tangis, tangis, dan tangis yang bisa kami tampakkan pada tuhan kami. Tak pernah ada senyuman dari kami untuk membalas senyum dari tuhan itu sendiri. 

Dia percaya bahwa tuhan lebih sering tersenyum dibandingkan marah, kecewa dan sedih. Namun kepercayaan itu tak bisa terbukti karena penglihatannya yang terbatas pada mata. 

Di akhir keluhannya pada pagi itu kepada tuhan ia berkata, “kalau hidup adalah cobaan, tentunya apa yang Kau tentukan pada kami seharusnya bukan coba-coba. karena kalau coba-coba aku yakin Kau pun tak tahu apa hasilnya. Sedangkan Kau Sang Penguasa Takdir jelas tahu setiap coba yang Kau coba pada setiap makhluknya. Aku tidak tahu apa yang ada di benak-Mu. Mungkin salah satunya, Kau mengharapkan manusia sepertiku untuk bertingkah laku dengan baik dalam menjalani hidup, tapi sayang Tuhan, bertingkah baik tidak laku dalam dunia ini. Lalu aku harus bertingkah seperti apa untuk menghapus luka-luka yang kadung dialami?”