Menangys is Lyfe

Menangislah…

Bila harus menangis…

Begitu ‘kan, ya? Dengar-dengar di lirik sebuah lagu dari band bernama Dewa.

Kenapa menangis harus disuruh? Kenapa menangis harus didahului oleh permintaan?

Tidak ada yang pernah meminta seorang bayi baru lahir untuk menangis. Bahkan, ketika bayi itu tidak menangis, ada kecemasan yang muncul terhadap bayi tersebut. Bayi yang baru lahir adalah semurni-murninya seorang manusia. Dan apa yang dipilihnya pertama kali sebagai salam pembuka kepada dunia yang akan ditempuhnya? Iya, dia menangis. Saya menangis. Kamu menangis.

Menangis adalah ekspresi. Jauh sebelum kita belajar untuk menampilkan ekspresi sumringah bahagia yang palsu. Jauh sebelum kita mengenal bahwa otot wajah yang menekuk adalah simbol dari amarah dan kekecewaan.

Lalu, ketika kita semua beranjak lebih tua. Menangis dilekatkan pada sebuah emosi bernama kesedihan. Kesedihan dari individu yang tak mampu menanggung kerasnya kehidupan. Ketidak mampuan tersebut diberi label lebih jauh berupa ke-lemah-an.

Dari mana muncul semua ini? Bagaimana bisa premis-premis ini tercipta hingga menampilkan kesimpulan seperti ini? Entahlah.

Tidak mungkin para juara dunia yang berdiri tegap di podium menerima medali dalam keadaan sedih dan lemah. Setidaknya itu yang ada dalam alam pikirku.

Para juara dunia itu mengalahkan lawan-lawannya yang juga tangguh. Dan, sebelum sampai pada pertarungan dalam merebut satu fase lebih jauh dalam sebuah turnamen, mereka harus mengalahkan diri mereka sendiri. Menaklukan rasa malas, rasa lelah, rasa ketidak pastian. Penggerak berupa tekad yang bulat menjadi amunisi utama dalam menundukkan semua itu.

Posisi yang diraih para juara dunia itu bukanlah jalan yang mulus dan lurus. Selalu ada liku beserta naik dan turunnya motivasi serta kondisi fisik juga mental. Ketika mereka sudah meraih semua itu, perasaan lega, bahagia, dan bangga menyelimuti diri mereka. Adakah sedih menyeruak dalam posisi seperti itu? Coba tanyakan saja kepada mereka.

Dan ekspresi apa yang ditampilkan oleh mereka selain teriakan lepas dan senyum yang melebar? Tangis.

Stigma emosi sedih yang lekat bersama tangis, luruh detik itu juga.

Tidak ada ekspresi lain yang mampu mewakili segala perasaan yang kadung bercampur aduk. Semua, hanyut dalam derai air mata. Melihat ke belakang atas segala kerja keras, tangis yang menjadi klimaks dari ekspresi.

Menangis adalah hal yang manusiawi, sama seperti proses respirasi, sama seperti derap langkah kaki.

Menangis bukan aib. Bukan sesuatu yang hanya boleh disimpan sendiri. Ia layak dibagi, sama seperti kebahagiaan dan rezeki.

Aku tidak paham, sejak kapan menangis lekat dengan stigma tertentu. Tangis adalah sesuatu yang kita bawa sejak lahir. Kenapa ia mesti mendapat pandangan miring.

Mungkin, tangis adalah inti dari segala ekspresi. Karena dia datang secara alami. Tanpa dipelajari. Puncak sedih adalah tangis. Puncak amarah adalah tangis. Puncak bahagia adalah tangis.

Menangislah, Sayang.

Bukan karena untuk melepas beban. Bukan untuk meratapi kesendirian dan kesepian. Bukan untuk mengakui kelemahan saat mengajukan permohonan kepada tuhan.

Menangislah.

Tanpa harus disuruh, tanpa harus dipinta.

Hitung setiap tetes air mata yang jatuh. Berpasrah dan lelah.

Dengan itu, kita bisa kembali mengenali diri kita sendiri.

Terdapat pantulan diri, dari setiap tetes air mata yang kau hitung.