Terkadang orang lebih memilih untuk merasakan pahit dari kejujuran daripada manis dari kata dusta. Ada berbagai alasan, mungkin salah satunya adalah karena kita akan mencoba menerima jahatnya sebuah kenyataan bagaimanapun perihnya, daripada terbenam dalam dunia ilusi. Dan coba mari kita bayangkan terdapat dunia yang tidak berisi kebohongan sama sekali. Hanya ada kejujuran dan semua perkataan adalah blak-blakan. Bohong yang tidak semata-mata karena menutupi sebuah kenyataan akibat keadaan terdesak, tapi juga dalam keadaan untuk memuji, menjilat atasan, bahkan menghibur orang lain yang sedang dalam keadaan bersedih.
Tengok sedikit (atau lebih baik tonton secara penuh) film berjudul The Invention of Lying. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Ricky Gervais serta Matthew Robinson ini adalah sebuah gambaran dunia, di mana orang-orang di sana benar-benar mengutarakan apa yang ada di dalam benak mereka. Bila seseorang sedang tidak ingin pergi ke kantor, maka ia akan langsung berkata ia sedang malas. Bila seseorang merasa lawan bicaranya buruk rupa, maka ia akan langsung bilang tanpa tedeng aling-aling. Memang terdengar agak kasar, tapi memang begitu sifat alami orang-orang tersebut. Sifat jujur tersebut bergaris lurus dengan rasa percaya penuh yang dimiliki oleh orang yang sedang berada dalam posisi pendengar atas apa yang sedang didengarkannya. Tak ada rasa penasaran untuk bertanya lebih jauh terhadap sebuah pernyataan yang dibuat, tak ada unsur kritis dalam sebuah perbincangan. Semua jujur dan semua wajib percaya.
Hingga pada satu kesempatan sang tokoh utama bernama Mark Billson yang diperankan oleh Ricky Gervais sendiri berada pada keadaan terdesak untuk berkata tidak jujur ketika berada di sebuah bank. Pada saat yang sama itu Mark sadar bahwa ia mampu untuk keluar dari sifat alami manusia di sana. Mampu untuk berkata tidak sesuai fakta dan tetap orang-orang percaya penuh atas apa yang dikatakannya. “Kebohongan” yang telah bisa ia lakukan terus berlanjut hingga akhir film. Banyak posisi di mana ia merasa harus tidak mengatakan yang sebenarnya tapi untuk kebaikan orang lain. Tidak melulu berkata tidak jujur demi kepentingannya sendiri. Ia harus melakukan yang demikian untuk melindungi perasaan orang-orang terdekatnya. Ia harus berkata tidak sebagaimana mestinya demi menghidupkan harapan dan ekpesktasi orang-orang di sekitarnya. Mark Billson yang berprofesi sebagai penulis naskah film ini sempat juga menggunakan “keahliannya” tersebut di dalam pekerjaannya untuk menyelamatkan karirnya.
Film bergenre drama ini penulis rasa sarat dengan muatan isu-isu sikap manusia terhadap sesamanya. Terkadang kita harus bersikap jujur pada saat-saat terpahit sekalipun, namun terkadang kita harus bisa melihat situasi untuk menyajikan white lie kepada lawan bicara kita. Seberapa pun manisnya kebohongan kita harus mengungkapkan yang sebenarnya kepada orang-orang terdekat kita. Kita tidak boleh terjebak pada situasi untuk berbohong. Kata intinya adalah : “terjebak”. Kebohongan yang kita cipta adalah kebohongan yang kita sadari bentuk konsekuensinya seperti apa. Ketika kita terjebak pada satu kebohongan, itu menandakan kita tidak paham betul dengan konsekuensi apa yang kita bicarakan. Kebohongan tersebut pada akhirnya akan terus menumpuk untuk menutupi lagi kebohongan yang telah dilakukan. Kebohongan demi kebohongan sehingga kita tidak akan dipercaya seutuhnya di dunia nyata. Pada saatnya nanti, biar bagaimanapun kita harus berkata jujur. Kebohongan demi kebohongan itu akan runtuh bersamaan dengan rasa percaya orang lain terhadap diri kita.
Jalan cerita dan cara penggambarannya yang sederhana membuat cerita ini mudah dicerna dan cocok sebagai tontonan santai yang berbobot. Konflik yang terjadi pun tidak rumit. Cukup bersentuhan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Percintaan, pertemanan, hubungan orang tua dan anak, hubungan bertetangga, hingga urusan pekerjaan mewarnai alur cerita dalam film ini. Menjadikan film ini bisa ditonton walau hanya sendiri, bersama pacar, atau tontonan bareng keluarga terkasih.
214/365
2 Agustus 2018