Novel dan Film Memang Tidak Pernah Sama

MV5BODQ3NTM0Nzg3OV5BMl5BanBnXkFtZTcwMTE3MDMxNw@@._V1_SY1000_CR0,0,674,1000_AL_
sumber gambar : imdb.com

   Judul tulisan ini akan mewakili perasaan dan pengalaman bagi beberapa orang yang telah membaca sebuah novel dan kemudian film yang diangkat berdasarkan cerita dalam novel tersebut. Banyak alasan kenapa dua hal itu berbeda dan sering berujung kecewa bagi yang menonton film adaptasi yang diangkat dari cerita sebuah novel. Namun, bagi saya sepertinya karena imajinasi setiap orang itu berbeda dan imajinasi sutradara itulah yang diangkat menjadi film, bukan imajinasi dari pembaca khalayak. Setidaknya imajinasi dari sutradara film yang mengangkat cerita dari sebuah novel akan berusaha sebaik mungkin mewakili imajinasi dari para pembaca novel tersebut.

                Hal ini saya alami lagi pada sebuah karya bernama Norwegian Wood. Karya pertama adalah sebuah lagu berjudul sama yang dituliskan oleh sebuah band bernama The Beatles yang masuk dalam album Rubber Soul rilisan tahun 1965. Lagu tersebut kemudian menjadi salah satu inspirasi bagi Haruki Murakami, seorang penulis Jepang untuk menulis sebuah novel berjudul sama yang diterbitkan pada tahun 1987. Novel tersebut selanjutnya diangkat menjadi sebuah film berjudul (masih) sama dengan diamanahkan kepada sutradara Tran Anh Hung untuk menggarapnya yang kemudian dirilis pada tahun 2010. Saya tidak tahu, mungkin selanjutnya Norwegian Wood ini akan diangkat kembali menjadi komik, tokoh kartun, atau bahkan nama makanan.

                Saya sendiri mengetahui karya ini kebetulan berurutan. Dimulai dari lagunya, lalu kemudian membaca novelnya dan terakhir menonton filmnya. Tidak ada ekspektasi apa pun ketika berniat menonton film ini. Sekadar pembanding saja antara imajinasi yang saya dapat dari novel terjemahan dengan bentuk audiovisual dalam film.

Cerita novel dan film ini berlatar waktu periode tahun 1960-an dan berpusat pada kisah cinta tokoh seorang pemuda Jepang bernama Watanabe pada dua orang gadis. Naoko, gadis satu yang merupakan mantan pacar sahabatnya sejak kecil dan gadis satunya lagi bernama Midori yang merupakan teman satu sekolah tapi berkenalan di sebuah kafe. Watanabe adalah pemuda dengan kepribadian pendiam dan penyendiri. Karakternya pun bukan sebagai pria berkepribadian alfa. Perjalanan kisah cintanya tidak diisi dengan watak dominan dari pria, namun lebih banyak ia mengalir dalam hubungan bersama para gadis tersebut. Bersama Naoko yang mengalami penyakit mental, Watanabe berada dalam posisi sebagai seorang lelaki yang mencintai dan dicintai tapi juga sebagai orang yang harus bisa membantu mengobati penyakitnya, baik sebagai teman atau sesama manusia yang peduli. Sedang bersama Midori yang juga banyak mengalami kepahitan hidup sejak masa kecil, Watanabe adalah sosok lelaki yang dicintai Midori dan diharapkan dapat membuatnya tetap bahagia.

Dalam kisah Norwegian Wood ini juga banyak digambarkan budaya pemuda-pemudi Jepang pada masa 60-an yang sudah mengenal perilaku seks bebas. Dengan bahasa di novel yang vulgar dan adegan-adegan dewasa pada film tentu cerita Norwegian Wood ini tidak layak untuk dikonsumsi oleh anak kecil.

Tidak ada ekspektasi berlebih seperti yang telah disebutkan sebelumnya pun berasal dari panjangnya cerita dan tebalnya buku dari Norwegian Wood yang saya rasa akan sulit untuk dirangkum dalam film yang berdurasi kurang lebih dua jam. Banyak detail cerita dalam novel yang tidak dimasukkan dalam film ini. Tidak ada kekecewaan di sini, hanya pemakluman. Seperti contoh adalah kisah perjalanan Watanabe-Kizuki-Midori yang begitu singkat. Atau contoh lain adalah teman sekamar Watanabe di asrama yang sangat sedikit mendapat porsi dalam film, tapi diceritakan cukup banyak sebagai selingan inti cerita dan sebagai keseharian hidup Watanabe di dalam kampus. Masih banyak sebenarnya, skena yang tidak bisa ditayangkan secara seksama dalam film. Namun begitu, tetap inti ceritanya tersampaikan dengan baik oleh sang sutradara.

Sedangkan penggambaran tokoh dan watak di dalam film layak diacungi jempol. Dari Watanabe, Naoko yang berbicara dengan suara yang pelan, Reiko sesosok wanita yang menemani Naoko dalam perawatan, hingga Nagasawa yang merupakan teman Watanabe di kampus yang merupakan tipikal lelaki idola kaum hawa. Sedikit yang tidak sesuai dengan imajinasi saya kalau tidak bisa dibilang kecewa adalah tokoh Midori. Imajinasi saya menggambarkan Midori adalah sosok wanita yang lebih maceuh dalam novelnya dibandingkan dengan yang tampil pada filmnya. Midori adalah gadis yang lebih tampak periang dan genit dalam imajinasi saya.

Pengalaman menonton film ini biar bagaimanapun tetap menjadi sebuah kesempatan yang menarik bagi saya. Sebuah judul literasi yang mendunia dan berusaha diangkat ke layar lebar dengan hasil yang baik. Kalau saya harus memberi rating film ini secara serampangan berdasarkan pengalaman menonton dibandingkan dengan imajinasi saya maka saya akan memberi nilai 8,1. Sedang untuk novel terjemahannya sendiri saya memberi nilai 9,6. Pengalaman paling berkesan dari film ini saya dapat dua buah. Satu skena di mana Watanabe berada dalam puncak kesedihan di batu-batu besar pinggir pantai ketika mendapat kabar bahwa Naoko meninggal dunia. Emosi meledak seketika di dalam dada saya karena melihat potongan adegan tersebut. Saya ikut larut dalam rasa kehilangan orang-orang terkasih. Jeritannya yang ingin mengalahkan suara desir ombak begitu dalam untuk melepas setumpuk kesedihan. Klimaks cerita yang tersampaikan dengan sangat baik.  Satu lagi tentunya ketika lagu favorit saya Norwegian Wood dinyanyikan solo oleh Reiko di pusat rehabilitasi.

I… once had a girl
or should I say
she once had me

She… show me her room
Isn’t it good
norwegian wood

 

170/365
20 Juni 2018