Komentar Terhadap 13 Reasons Why Season 2

66788-2

                Sudah selesai juga akhirnya menonton 13 Reasons Why season 2. Setelah pada season 1 Clay Jensen mencari kebenaran dan fakta-fakta yang terjadi di balik tragedi yang dialami temannya Hannah Baker, pada season 2 ini cerita berlanjut bagaimana upaya untuk menuntut keadilan terhadap segala hal buruk yang dialami oleh Hannah Baker dengan teman sekolahnya, baik yang terjadi di luar sekolah, ataupun di dalamnya. Dalam season ini juga disajikan kembali beberapa cerita di dalam kaset yang telah dibuat Hannah Baker, namun sudut pandang cerita itu dimiliki oleh nama teman yang berada dalam kaset rekaman, bukan lagi sudut pandang melulu dari Hannah Baker.

Masih banyak gejolak emosi para remaja dalam 13 Reasons Why season 2 ini. Amarah, rasa sepi, tekanan lingkungan, penasaran, pencarian jati diri, dan segala krisis yang dialami pada fase remaja ditampilkan dengan apik di setiap episode di sini. Akibat itu semua saya akhirnya sedikit antipati dengan tokoh Clay Jensen di sini. Betapa naif, bodoh dan cerobohnya Clay dalam season 2 ini, walaupun sifat-sifat berani dan baik masih terbawa dari season 1. Banyak hal yang tidak dipikirkan dengan matang dalam mengambil keputusan beresiko memang jamak menjadi ciri khas manusia pada masa-masa ABG. Karena kesalahan-kesalahan pada masa muda akan menjadi pelajaran dan pengalaman yang berarti di kemudian hari. Bukan begitu?

Gejolak kawula muda itu tidak harus menjadi bibit perselisihan terus-menerus di antara mereka. Bentakan, makian, sumpah serapah, tidak serta-merta mengusir teman-teman dari kehidupan kita secara langsung. Walau caranya terdengar begitu salah, namun komunikasi itu tetap terjaga, terlepas dari bagaimana cara penyampaiannya. Putus asa yang ditumpahkan pada sebuah rasa amarah untuk teman yang justru ingin membantu dia kembali optimis, tidak menjadikan pertemanan itu otomatis putus. Ada usaha untuk membangun rasa saling pengertian dari tokoh-tokoh di sini.

Dalam kisah di sini juga kita bisa mengetahui bahwa seorang teman yang lebih dulu meninggalkan kita di dunia dengan segala penderitaan yang dimiliki akibat rundungan dari lingkungan sekitar, tetap bukanlah orang yang sempurna. Teman kita itu juga bisa melakukan banyak kesalahan dan menyakiti orang lain. Atau mungkin bisa kita sebut layak untuk dibenci dan tidak perlu dibela sebagaimana mestinya. Namun, ketika teman kita itu baik terhadap kita, maka kebaikannya lah yang patut kita ingat ketika teman kita telah tiada. Kebaikannya lah yang patut dijadikan pelajaran untuk diambil dan kemudian kita coba tiru untuk diberikan kepada orang lain.

Dibandingkan dengan season 1, 13 episode jilid dua dari serial 13 Reasons Why menampilkan warna dan tone yang lebih cerah. Tidak ada gurat depresi yang saya rasakan ketika telah menamatkan seluruh episodenya. Aman ditonton seorang diri. Entah memang aman, atau karena sebelumnya mental sudah disiapkan karena tahu efek yang didapat ketika beres menonton serialnya di season 1. Walau dengan konflik-konflik dan grafik emosi yang sudah disinggung sebelumnya, cerita di sini yang sudah keluar jalur dari cerita novelnya menampilkan nuansa yang lebih optimistis.

Ada rona yang ingin disebar oleh para orang dibalik layar serial ini. Rona bantuan dan keberanian. Keberanian untuk melanjutkan hidup bagi mereka yang telah menjadi korban pemerkosaan seperti yang tokoh Hannah alami di serial ini. Jangan sampai ada cerita lagi tentang seorang anak yang depresi dengan kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual yang menimpa dirinya hingga harus berakhir kematian dengan cara bunuh diri. Di setiap episode ditayangkan layanan bantuan bagi mereka-mereka yang membutuhkan teman mendengar atas masalah yang menimpa dirinya. Itu baik, untuk mencegah dan menyelamatkan para remaja dari depresi.

Selanjutnya, terdapat efek buruk bagi orang-orang sekitar yang ditinggalkan mati bunuh diri oleh kerabatnya. Itu harus menjadi sebuah bahan pertimbangan seseorang sebelum ia mengambil nyawanya sendiri. Mereka-mereka yang peduli dengan kita, akan ditinggalkan dengan derita dan rasa bersalah yang berlebih. Rasa bersalah karena perhatian yang mereka berikan terasa tidak cukup sehingga harus berakhir dengan bunuh diri. Rasa bersalah karena tidak bisa ikut mencegah tindakan bunuh diri tersebut. Bagi mereka yang masih hidup, itu lebih sulit dijalani dibandingkan dengan harus mengakhiri nyawa sendiri. Menanggung rasa malu dan/atau rasa bersalah lebih berat daripada memutuskan mati. Jangan sampai kita meninggalkan orang yang katanya kita sayangi justru dengan penderitaan panjangan yang justru disebabkan oleh kita. Setidak-tidaknya mereka akan kebingungan dan selalu memunculkan pertanyaan ‘kenapa’ harus mati dengan cara tersebut.

***

                Sampai saat ini saya belum banyak menonton tayangan netflix. Tetapi dari serial 13 Reasons Why ini saya bisa mendapatkan gambaran tentang dunia yang berbeda. Isu pemerkosaan dan pelecehan seksual jarang untuk berani diangkat. Padahal kasus-kasus pelecehan seksual itu nyata terjadi di sekitar kita. Mulai dari hal kecil bagi para pelaku seperi catcalling hingga kasus pemerkosaan yang meninggalkan bekas trauma yang mendalam pada para korbannya. Khusus untuk di negara kita sendiri, cukup untuk menyalahkan korban kasus pemerkosaan yang terjadi. Dalam pemikiran umum korban adalah wanita. Karena kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terjadi bukan karena pakaian wanita yang terbuka atau menggoda. Tak terhitung kasus pelecehan seksual terjadi pada wanita yang berpakaian sopan. Bila kasusnya seperti itu, siapa lagi yang mau disalahkan? Tentu saja para pelaku. Para pelaku kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual tidak bisa mengatur orang lain untuk berpakaian seperti apa, tapi dia memiliki akal dan kemampuan untuk mengendalikan diri, setidaknya dengan tidak memandang korban sebagai objek atau benda. Mereka juga manusia sama seperti para pelaku. Para pelaku sebenarnya punya otoritas kepada diri sendiri untuk tidak melakukan pelecehan seksual.

             Saya acungi jempol juga untuk keberanian mengangkat perilaku homoseksual dalam serial ini. Saya acungi jempol hanya untuk keberanian saja, karena pandangan pribadi saya masih tidak setuju dan tidak suka dengan perilaku homoseksual yang ada. Dunia yang berbeda dalam serial ini juga saya dapati tidak ada isu rasial itu menjadi hal yang patut disyukuri. Tanpa memandang suku atau warna kulit, dalam Liberty High School yang menjadi latar kisah ini, semua berhak berprestasi, semua orang berhak menduduki organisasi-organisasi yang berada di sekolah. Semua berhak untuk menjalin pertemanan tanpa harus terjebak dalam stigma ras tertentu lebih tinggi kedudukannya di dalam masyarakat dibandingkan ras lainnya.

Untuk ulasan season 1 bisa dilihat di sini.

               Tentu, dalam setiap tontonan, dalam setiap hal, ada hal yang bisa kita pelajari dan ada hal yang bisa kita buang jauh-jauh. Tidak usah ditelan atau ditolak secara mentah-mentah. Setelah menonton 13 Reasons Why ini semoga kita bisa saling bahu-membahu mengurangi tindak pelecehan seksual dan pemerkosaan yang terjadi dimulai dari diri sendiri dengan berbagai bentuk. Juga untuk menolong orang yang kita kenal untuk lepas dari jurang depresi dan putus asa. Tabik.

 

157/365
7 Juni 2018