Obat Dari Sakit Hati Dibeli Di Toko Musik Bag. II

                Melanjutkan tulisan dari bagian pertama. Obat sakit hati bisa dibeli di toko musik atau kini dapat kita nikmati kini secara gratis di media pemutar musik daring yang disediakan oleh situs Youtube ataupun media semacam Spotify, Joox dan lain-lain. Dengan iringan lagu yang melintas pada indera pendengaran kita, obat itu tak berwujud secara visual. Obat itu hanya dapat didengarkan, tak peduli ada orang lain yang ikut mendengarkan atau tidak.

                Salah satu bentuk obat yang nyata, berupa musik dengan susunan kata yang menjadi lirik di dalamnya. Kita tak bisa menolak dan mengelak bahwa betul adanya musik adalah obat sakit hati. Setelah berperih-perih dengan lagu Dreaming With A Broken Heart, untuk menjatuhkan kita sedalam-dalamnya pada jurang durjana. Mengajarkan kita saat mendengarkan lagu itu, sakit tak perlu ditahan-tahan. Kalau memang sakit ya sudah sakit sekalian, jangan tanggung-tanggung. Mampus kau terkoyak-koyak dari dalam dirimu. Gelap sudah langit yang memayungimu, secerah apapun dan seterik apapun matahari tergantung di sana, yang kau lihat dan rasa adalah kelam. Hujan terus yang mewarnai hatimu. Sepi sudah jiwamu, seramai dan seriang apapun kau berada di kerumunan dan kelompok teman-temanmu. Biarkan dirimu tenggelam dalam perih kesendirian. Hanyutkan dirimu dalam kesedihan.

                Saat masa itu telah terlalui, kita akan sadar kita tak bisa lari dari kenyataan yang menimpa diri kita. Selayaknya continuum, hidup dalam dimensi ruang dan waktu serta dijalani dengan sadar sekaligus alam bawah sadar, itu hanya sebuah rentetan kejadian hidup yang tak melulu berisi bahagia. Ada perih dan sakit yang harus dilalui untuk dapat lebih menghargai sebuah kebahagiaan dan kabar gembira. Salah satu rentetan kejadian itu adalah patah hati dan mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan hati yang telah berserakan secara berantakan.

Play : John Mayer – I’m Gonna Find Another You

I’m Gonna Find Another You. Semua telah benar-benar berakhir. Dia telah membuat suatu keputusan. Dia membuat kita menangis, seperti yang telah direncanakan. Tapi ketika kesepian ini telah berlalu, kita akan segera mendapatkan penggantinya.

Kau ambil baju hangatmu. Kau ambil juga waktumu. Kau mungkin juga punya alasan. Tapi, kau takkan pernah mengambil rimaku. Kita akan menyanyikan sebuah lagu di jalan yang menjauhkan dari kesedihan, ketika itu pula kita akan mendapatkan penggantinya.

Ketika aku adalah kekasihmu, tak ada lagi yang lain. Aku berjanji dan kupercayai sepenuh hati. Namun jika aku dipaksa untuk mencari yang lain, aku harap ia seperti kamu dan tentunya lebih baik.

Lalu, carilah pelarianmu. Rasa gengsi dan kebanggaan akan seiring jalan menemaniku, dan saat itu justru kau tidak akan punya sebuah rasa bangga. Sama sekali. Kini aku akan berpakaian tidak hanya untuk diriku, namun juga untuk seseorang yang baru itu. Itulah, aku akan melakukan sesuatu yang kau takkan izinkan aku untuk melakukannya. Aku akan menemukan seseorang selain kamu.

                Tahapan itu yang membuat kita bangkit. Rasa sakit dalam lagu ini dibalut dengan kata-kata yang optimis untuk menyongsong hari-hari yang akan datang. Mengajak kita, bahwa perkara putus dan patah hati bukan merupakan akhir dunia. Masih banyak lawan jenis di luar sana yang bisa kita ajak untuk menjalin kasih. Berharap tentunya orang yang baru itu akan lebih baik dari kekasih kita terdahulu. Percayalah, kita akan segera menemukan orang selain dirinya.

                Selamat melanjutkan hidup. Mari sebar cinta, redam murka, kubur nestapa.

 

327/365
23 November 2018

Obat Dari Sakit Hati Dibeli Di Toko Musik Bag. I

                Obat dari sakit biasanya dibeli di apotek, tapi adakah obat yang dijual untuk mengobati sakit hati di sana? Tolong dibedakan obat sakit hati dan sakit liver. Jawabannya tidak ada. Obat sakit hati itu adanya di toko musik, berupa kepingan-kepingan CD musik karya musisi-musisi. Beruntung saya masih bisa merasakan CD musik di tengah derasnya lagu yang berseliweran di internet sekarang ini. obat sakit itu dibuat dengan resep sendiri berdasarkan pengalaman pribadi. Berikut resep pemakaiannya.

Ada dua lagu yang bisa membuat saya auto-galau sekaligus auto-sembuh dalam hidup ini. Dua-duanya dari penyanyi yang sama : John Mayer. Dua-duanya dari album yang sama : Continuum. Dua lagi itu jadi pengisi bontot dari album tersebut. Coba tebak apa lagunya. Barangkali ada yang merasakan hal yang sama dengan saya. Jawabannya adalah… *jengjengjeng*

  1. Dreaming With A Broken Heart
  2. I’m Gonna Find Another You

Lagu yang menenangkan sebenarnya. Sangat cocok didengarkan ketika galau. Melepaskan sebagian sakit yang menancap di dada. Sebagian air mata sudah tercurahkan ke dalam nada-nada yang ada. Raung dan teriakan perih sudah terwakilkan sebagian ketika menyanyikan dua lagu ini. Tapi lagu itu juga ibarat pedang bermata dua. Seketika bisa membuat galau tanpa sebab saat lagu itu terputar dengan sengaja atau tidak. Mungkin juga karena dua lagu itu yang menyimpan banyak memori terkait kenangan pedih yang pernah terjadi. Obat mujarab yang telah lalu. Ketika dua lagu itu terdengar, rasa sakitnya muncul kembali walau ceritanya sendiri sudah lama terlupakan dan terkubur baik-baik bersama peti kenangan yang memberikan banyak pelajaran dan pengalaman. Tulisan bagian I ini saya akan berbagi sedikit dari lagu pertama.

                Ketika membaca tulisan ini, harap dengarkan dulu sebelumnya barang sekali lagu dari John Mayer, berjudul Dreaming With A Broken Heart. Baca liriknya, resapi maknanya. Putar lagi selama membaca tulisan ini hingga akhir.

John Mayer – Dreaming With A Broken Heart

Dreaming With A Broken Heart. Bermimpi ketika mengalami patah hati. Patah hati ditinggal pergi sang kekasih. Ketika kamu pergi terlelap tidur saat patah hati, bangun pagi betul-betul masa tersulit yang dihadapi. Kita harus menghadapi kenyataan, sebagian diri kita tidak bersama kita lagi. Dada seperti ditimpa truk penuh pasir. Sesak. Jangan dulu bicarakan makan dan bangkit dari ranjang dan kasur yang empuk itu. Walau nafsu makan telah hilang dan kita kehilangan banyak berat badan, tapi yang lebih menyiksa adalah untuk bernafas saja kita sulit dan begitu sakit.

                Ketika kita tidur dan menyimpan rasa patah hati. Tak bisa sejenak untuk sekadar punya rasa pasrah dan merelakan. Karena kekasih yang sangat kita puja, tiba-tiba hilang dari pelukan. Pergi meninggalkan seonggok daging yang kita sebut sebagai diri kita sendiri, karena jiwa dan pikirannya tengah melayang entah ke mana. Seonggok daging itu, bergerak, berjalan, berkegiatan tanpa pikiran, mengingat saat putus sang kekasih berkata-kata berseling air mata untuk tega mengakhiri hubungan dengan berbagai alasan dan sebab. Rasa sakit ini jelas bukan prerogratif kita semata. Rasa sakit ini juga diderita oleh kekasih yang sempat mencinta diri kita. Ia berganti status dan melepaskan juga statusmu sebagai sepasang kekasih. Kini dua insan itu berjalan masing-masing.

                Di waktu-waktu yang biasanya bersama, kita harus menghadapi sebuah kenyataan pahit bahwa tak ada lagi kekasih kita itu. Tak ada lagi raganya yang di sebelah kita, di ranjang tempat tidur berdua, ketika kita terbangun. Atau tak ada lagi dirinya berdiri menyambut pagi kita. Berharap dia sebenarnya tetap tinggal dan tetap bangun tidur di samping kita. Tapi itu semua sekarang menjadi khayalan semata, karena dirinya telah benar-benar pergi.

                Kita biasa bersikap manis pada pasangan kita, salah satunya dengan memberi bunga mawar. Namun bunga mawar itu kini tak bertuan. Jadi, apakah kita harus tidur bersama mawar itu? Apakah kita harus tidur bersama setangkai mawar itu? Apakah kita harus tidur bersama seikat bunga mawar itu? Berharap bahwa mawar itu bisa sampai kepada kekasih kita yang dulu. Namun lagi dan lagi, itu hanya khayalan belaka, karena dia telah pergi meninggalkan kita.

                Ketika rasa patah hati itu mengantar kita tidur. Tidur bukan sebagai bagian dari istirahat setelah berkegiatan melakukan rutinitas harian. Tidur adalah sebuah media pelarian kita dari kenyataan. Tapi ya, tidur itu adalah sebuah maha siksa ketika kita terbangun lagi di pagi hari.

***

                Semua yang saya tuliskan di atas adalah sebuah anyaman dari benang pengalaman rasa dan benang lirik yang benar-benar saya lalui. Lagu ini betul-betul menjadi obat saya kala itu. Memutarnya berkali-kali dalam Winamp dan Youtube. Dinikmati saat sendiri atau sedang berada di kamar teman untuk bisa mendengarkannya melalui speaker sehingga kualitas suaranya lebih bagus daripada suara yang dihasilkan oleh speaker bawaan dari laptop. Sangat menggambarkan keadaan patah hati dan mewakili perasaan saya (atau kamu juga?).

                Selayaknya continuum sebagai tajuk album yang memayungi lagu ini, rangkain kejadian silih berganti setelah titik patah hati. Sadar atau tanpa sadar, berkumpul bersama teman, sedikit menoleh ke belakang terhadap apa-apa yang terjadi bersama mantan kekasih, sibuk dengan pekerjaan atau kegiatan rutin lainnya, bertemu orang-orang baru dan kejadian-kejadian lainnya mengobati rasa sakit itu. Tetap lagu ini diputar setidaknya sekali dalam sehari saat fase patah hati tersebut. Dan selang lama waktu kemudian, perlahan-lahan saya pulih dari rasa sakit yang membebani dada setiap bangun di pagi hari.

                Setelah jauh rangkaian kejadian itu terjadi, lagu ini tidak serta merta saya lupakan. Kadangkala saya putar untuk mengantar tidur, saya nyanyikan juga untuk menghidupkan suasana kelam dan memberi mood untuk menulis, atau bahkan hanya untuk memain-mainkan mood sendiri yang sebenarnya tidak perlu dicontoh oleh orang lain. Terkadang ketika cinta baru tak berbalas atau menghadapi sakit hati yang lebih baru, atau ketika kenangan lama sekonyong-konyong muncul melintas di dalam kepala, lagu ini menjadi antibiotik instan yang menyembuhkan hanya dengan jangka waktu semalam. Pun ketika galau karena alasan lain, lagu ini bisa menjadi moodbooster untuk mengobati diri.

                *)Tulisan ini sepenuhnya dari awal hingga akhir penulisan dilatari oleh lagu
John Mayer – Dreaming With A Broken Heart

 

325/365
21 November 2018

Mengulang Hari Dalam Groundhog Day

                Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu bisa mengulang waktu dan kembali ke hari yang telah kamu lalui sebelumnya? Mungkinkah kita menjadikan hari itu lebih baik atau justru menjadi bertingkah laku semena-mena karena tahu apa yang akan terjadi kemudian? Pengalaman menonton film Groundhog Day akan membawamu pada kemungkinan-kemungkinan tersebut.

                Groundhog Day adalah sebuah film yang dibintangi oleh aktor Bill Murray yang berperan sebagai Phil, seorang reporter sebuah stasiun televisi. Phil ditugaskan meliput acara tahunan Groundhog Day yang berisi ramalan durasi musim dingin yang akan terjadi. Ketika liputan telah selesai dijalankan, Phil beserta kedua kru dari stasiun televisi tersebut terjebak oleh keadaan cuaca sehingga mereka tidak bisa kembali ke kota asalnya. Terpaksa mereka menetap dan bermalam kembali. Namun ketika keesokan harinya, Phil  menemukan kejanggalan bahwa ia tidak hanya terjebak di kota tersebut, melainkan terjebak di hari yang sama saat festival Groundhog Day terjadi. Setiap harinya ia bangun pukul 8 pagi mendengar bunyi alarm yang serupa dan menemui kejadian yang sama persis di setiap penjuru kota. Setiap pagi ia mengawali hari yang sama dari hotel tempat ia menginap.

            Film keluaran tahun 1993 ini dikemas dengan apik karena detail-detail kejadian yang sama tergambarkan dengan jelas. Berupa baju yang dikenakan, dialog-dialog pemeran pendukung yang sama persis, pengambilan sudut gambar, hingga furnitur-furnitur dan keadaan kota bisa kita temui tanpa perbedaan di setiap hari yang dilalui oleh Phil. Justru ketika menonton film ini saya cenderung merasakan setiap peralihan skena adalah sebuah pengambilan ulang gambar dari skena yang sama.

                Rasa bosan yang menghinggapi Phil karena ia harus selalu bertemu kejadian yang serupa justru mengubah hidupnya. Ia yang arogan dan bersikap acuh tak acuh kepada lingkungan sekitar, sedikit demi sedikit berubah. Ia belajar dari kesalahan dan pengalaman di kejadian sebelumnya untuk bisa bertindak lebih baik di kesempatan selanjutnya, karena ia tahu bahwa ia akan terbangun lagi dan lagi di hari yang sama dan mengalami kejadian yang sama lagi, namun ia bisa menanggapi kejadian itu dengan cara yang berbeda, dengan menampilkan kepribadian Phil yang berbeda dari yang sebelumnya ia punya.

          Secara keseluruhan saya memberikan nilai 9 dari 10 kepada film ini. Ide ceritanya sederhana. Serupa gunung es, sederhana itu hanya tampilan yang tampak di atas permukaan air, banyak hal yang bisa kita dapatkan bila kita melihat lebih dalam, menyelam mengamati keseluruhan bentuk dari gunung es. Untuk mengisi waktu senggang, film ini saya rekomendasikan untuk dinikmati bersama keluarga di waktu libur.

 

317/365
14 November 2018

Apa Yang Sewajarnya Terjadi di Kedai Kopi

                Sebuah film yang menampilkan artis-artis ternama di Amerika dalam kumpulan cerita pendek berlatarkan kedai kopi berjudul Coffee and Cigarettes tidak akan pernah benar-benar tercipta di zaman kiwari. Film ini menceritakan ragam adegan dan dialog yang mungkin dan umum terjadi ketika orang-orang bertemu untuk meminum kopi bersama.

                Bagaimana orang hanya ingin bertemu tanpa ada yang ingin dibicarakan. Bagaimana orang mau menikmati waktu sendiri. Bagaimana orang kehabisan kata untuk bicara dan berusaha sekuat mungkin menjauhkan kesunyian dan kekosongan meja mereka dari sebuah pembicaraan. Bagaimana pula orang mengomentari rokok yang dibakar dan dihisap ketika berteman dengan secangkir kopi. Bagaimana juga caranya interaksi tetap terjalin tanpa menyinggung perasaan lawan bicara kita. Dan bagaimana-bagaimana lainnya semua terkumpul dalam film ini.

                Tentunya hal-hal demikian akan bisa disederhanakan dengan mudah di zaman kiwari ini. Ketika kita kehabisan topik bahan untuk bicara di masa dewasa ini kita bisa berlari ke gawai kita, membuka media sosial, mencari “kehidupan lain”. Saat kita merasa tersinggung dengan sebuah perkataan dari lawan bicara kita, kita bisa langsung bersikap acuh tak acuh dengan tatapan beralih ke gawai kita. Sudah tidak ada seni lagi dalam berbincang sesama manusia di kedai kopi. Atau sebut saja interaksi yang bersifat nyata itu sudah berada di titik nadir dalam kehidupan kita. Selain karena hal tersebut, ketika kita berkumpul bersama teman atau kerabat ketika berada di kedai kopi, kita mementingkan konten untuk ditayangkan di media sosial kita dengan “mengabadikan momen” melalui swafoto atau foto bersama. Hilang sudah momen yang abadi yang dapat tercipta dari obrolan-obrolan ringan hingga sangat dalam saat bersama orang yang kita kasihi. Ikatan yang tak kasat mata tapi sungguh terasa nyata perlahan-lahan semakin tipis karena kepentingan konten di media sosial tersebut. Kita seringkali lebih mementingkan tampak dekat dengan beberapa orang dengan konten foto tersebut daripada betul-betul dekat dengan orang yang kita temui.

                Tidak ada salahnya kita berfoto dengan orang-orang yang memang dekat dengan kita. Tapi bila kegiatan foto bersama dan kemudian setelah foto masing-masing kita langsung sibuk mengunggah kebersamaan sebagai sebuah konten di setiap pertemuan, maka esensi apa yang masih kita dapatkan dari pertemuan itu? Ada sebagian waktu, tenaga, dan pikiran yang kita sisihkan untuk bertemu dengan orang-orang tersebut. Akankah semua hal yang kita sisihkan itu menjadi mengambang dalam kesia-siaan demi sebuah konten? Tentunya sangat sayang bila jawaban itu adalah iya.

                Sedikit membahas tentang film Coffee and Cigarettes sendiri, film yang dirilis pada tahun 2003 ini berwarna hitam putih, walaupun sebenarnya sudah ada teknologi film berwarna. Semua pemeran di film ini memerankan diri mereka masing-masing. Aktor Bill Murray berperan sebagai seorang Bill Murray, begitu juga dengan Steve Buscemi ataupun Iggy Pop dan yang lainnya. Tidak ada transisi antara cerita satu dan selanjutnya. Semua adalah kumpulan cerita terpisah dengan pemeran yang berbeda di setiap ceritanya. Artis-artis ternama dikumpulkan dalam suatu kumpulan cerita yang sederhana, mencoba menarik perhatian khalayak untuk menonton film ini. Untuk saya pribadi ketika saya menonton film ini saya seperti berada di kedai kopi menyajikan minuman sebagai seorang jurubar — atau secara awam disebut barista, dan menyaksikan ragam tingkah polah konsumen di meja-meja yang berbeda. Tanpa gawai pintar mereka. Di setiap mejanya hanya ada konsumen yang berbincang langsung, gelas-gelas kopi, kepulan asap rokok dari setiap meja, dan cerita yang benar-benar (sepatutnya) terjadi.

                Dalam film Coffee and Cigarettes bila tayang dalam waktu belakangan ini, tentunya akan menjadi sebuah kritik bagi kita semua bila dilihat dari sudut pandang yang tepat tentang apa yang seharusnya terjadi di sebuah kegiatan minum kopi bersama: berbicara, bercanda, berdiskusi, bertukar kabar, berbagi pengalaman, hingga membual sekalipun. Semoga kita semua kembali menjadi homo socio yang asli, bukan homo medio socio.

315/365
12 November 2018

Hanyut Dalam High Hopes Milik Kodaline

                Malam itu, Bandung diguyur hujan yang sangat deras. Dan aku hanya bisa terpaku di depan layar laptop temanku. Ditemani dengan internet kencang di saluran youtube, fitur mode autoplay membawaku menonton clip dari sebuah band bernama Kodaline dengan single-nya High Hopes. Entah kenapa tayangan itu menghujam dadaku. Padahal liriknya aku tak paham sama sekali isi maknanya. Aku hanya tahu kombinasi hujan, nada lagunya, dan tayangan cerita di video clip tersebut. Terasa sangat dalam walau tak begitu dekat. Terasa begitu menyayat.

               Aku tahu lagu tersebut telah lama, kala seringkali temanku menyanyikannya dengan gitarnya. Tak jarang pula yang lagu tersebut tersetel dan aku dengarkan dengan seksama. Tapi tak ada yang istimewa sebelumnya. Cukup enak dan mudah dinikmati. Tapi ketika aku melihat clipnya semua berubah begitu drastis. Ada nuansa gelap dan sakit dari pembawaan video tersebut. Mungkin aku berlebihan. Mungkin juga sutradara dalam pembuatan video musik tersebut terlampau cerdas untuk menyampaikan pesan dari si lagunya. Atau bisa saja ia bisa mendramatisir cerita sehingga rasa yang ada dalam lagu tersebut tersampaikan dengan hakiki kepada para penontonnya.

                Dua orang yang seakan terikat dalam suatu jalinan cinta tulus tersaji dalam video tersebut. Diawali dengan skena sang pria tua yang berniat bunuh diri dengan metode mengunci diri di dalam mobil yang menyala dengan saluran asap pembuangan dari knalpot ditambahkan selang sehingga asap knalpot bisa masuk lagi ke dalam mobil yang ia diami. Berharap tidak ada oksigen yang bisa ia hirup dan napasnya hanya terdapat gas karbon monoksida yang beracun. Hingga akhirnya ia kehabisan nafas dan terlelap mencabut nyawanya sendiri. Namun kemudian sebelum kesadarannya hilang datang seorang wanita mengenakan gaun pengantin dengan di belakangnya terdapat gerombolan lelaki yang mengenakan tuxedo. Saya menangkap bahwa wanita tersebut lari dari sebuah ritus pernikahan, dan memilih untuk bersama sang lelaki tua di dalam mobil.

          Cerita berlanjut dengan kehidupan sang wanita dan laki-laki itu ketika bersama setelah melarikan diri dengan mobil yang sama. Senda gurau, raut bahagia menggambarkan kehidupan mereka yang berwarna cerah saat bersama. Saling menerima apa adanya dan menjadi pribadi asli mereka tanpa beban apa-apa. Hingga suatu waktu mereka pergi bertamasya dan tanpa disadari mereka dihampiri oleh salah seorang dari gerombolan lelaki yang disebutkan di awal. Mungkin ia adalah mantan calon suami si wanita itu. Lelaki itu menembakkan shotgun ke arah sejoli yang kabur itu. peluru menghantam tubuh si pria tua menembus hingga sampai pula peluru itu ke tubuh sang wanita. Sang wanita mati di pelukkan sang pria tua. Pria tua melanjutkan hidup dengan kekosongan setelahnya. Tak ada lagi raut bahagia yang pernah menghampirinya. Semua hilang bersama harapan yang pupus ditembak peluru shotgun. Video ditutup dengan sang pria tua yang terbaring di kasurnya sendiri menatap kosong dan jauh.

          Kalau kamu belum pernah menonton videonya coba sempatkan waktu sesekali melihatnya. Utamanya kala hujan. Suasana hatimu yang sebenarnya sedang biasa saja, bisa mendadak muram kemudian. Walau kamu tak pernah bersinggungan sedikitpun dengan cerita yang ada di dalam video tersebut, kamu pasti akan merasa seperti penonton yang berada di tempat kejadian semua peristiwa tersebut atau lebih lagi, kamu adalah seorang sahabat dari si pria tua dan kamu bisa merasakan empati atas semua kejadian yang menimpa sahabatmu si pria tua tersebut. Disarankan untuk menontonnya dengan kualitas video terbaik yang disediakan oleh youtube. Ketika sudah usai menonton video tersebut, keluarlah, bersembunyi di balik hujan deras, agar air matamu tersamarkan.

                Eits, ternyata videonya belum beres. Ada apa di akhir ceritanya?

Kodaline – High Hopes

314/365
11 November 2018

Adzab atau Cobaan

Kamu baru tertimpa tangga ya?

Iya

Itu adzab buatmu

Atas dasar apa? Ini adalah cobaan
bukan adzab
aku sedang diingatkan

Adzab untukmu
dosamu banyak

Ini cobaan!
Ini ujian!
tidak mungkin aku diadzab
aku adalah orang yang layak disayang

Adzab!
Pokoknya adzab!
Adzab kecil
kamu layak diadzab

Kamu tidak pernah dekat denganku
tidak bertemu setiap hari
dan kamu semena-mena berkata ini adzab
kurang ajar!

Semua ada sebab akibat
tidak mungkin kamu tertimpa musibah
bila tak punya banyak salah

Aku tak mungkin diadzab
ini cobaan
yang layak diadzab itu kamu
mengata-ngatai orang seperti itu
Bila ini tertimpa padaku maka itu cobaan
bila ini tertimpa padamu maka itu adzab
camkan itu!

303/365
30 Oktober 2018

Saya Sampaikan Kebenaran dan Saya Ditolak di Pergaulan

Dunia terasa lebih sepi. Tidak ada lagi kawan-kawan yang setia menemani. Mereka pergi meninggalkan saya. Tidak benar-benar pergi. Hanya terasa tidak lagi akrab dengan saya. Mata mereka tampak dingin melihat saya. Tidak hangat seperti dulu. Kenapa banyak orang yang jadi menjauhi saya, ya?

Harusnya mereka senang ketika saya sekarang menjadi pecinta ilmu pengetahuan dan wawasannya lebih terbuka dengan banyak membaca. Padahal dulu saya anti sekali dengan kegiatan membosankan itu. Bagaimana tidak membosankan? Seorang manusia harus duduk terdiam menyusuri huruf demi huruf dalam sebuah artikel. Lebih baik saya mantengin Instagram. Jelas menyenangkan. Saya bisa melihat kehidupan orang lain yang sedang jalan-jalan ke luar negeri. Saya bisa melihat orang lain sedang makan enak. Saya bisa melihat orang mengeluh menghadapi pekerjaan dan hidupnya. Tentu itu jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan hanya membaca berita di media daring, bukan? Namun, sekarang mata saya lebih terbuka melihat dunia. Banyak kejadian-kejadian kiwari yang ternyata menarik untuk diikuti. Khususnya, berita politik seperti kasus korupsi hingga kebijakan-kebijakan presiden, dan tentunya saya menelusuri lebih jauh informasi tersebut dengan membaca berita-berita lagi dari situs blogspot dan wordpress.

Saya tidak menyangka membaca sedemikian asiknya untuk dijalani. Semangat saya kian menjadi-jadi untuk membaca ketika di dalam grup whatsapp saya disuguhi bacaan-bacaan tanpa mengenal waktu. Bacaan yang bersumber dari grup sebelah itu mengambil ragam topik. Salah satunya berita politik juga yang kini saya sedang tekuni. Bahkan yang lebih menariknya adalah berita politik tersebut dikaitkan dengan agama! Saya sebagai manusia yang telah berjalan jauh dari jalan yang lurus tentunya merasa ditegur dengan bacaan-bacaan seperti itu. Banyak sekali sekarang nama ustad yang tidak saya kenal. Mungkin karena saya memang sudah tidak mengikuti ceramah-ceramah lagi, baik di televisi, radio, atau datang langsung ke kajian-kajian agama.

Dalam bacaan-bacaan tersebut, saya bisa lebih paham dosa dan pahala itu bagaimana. Salah satu dosa yang paling gampang didapat oleh saya adalah ketika saya tidak menyampaikan pesan berantai ke orang-orang. Ketika pesan tentang kebijakan pemerintahan yang pro-kafir berhenti di saya, saya akan berdosa dan mendapat nasib buruk. Begitu dahsyatnya ilmu yang memang harus disampaikan walau hanya satu ayat. Ketika saya bisa meneruskan pesan tersebut, saya bisa mendapat pahala. Itu yang saya kejar: pahala.

Ketika saya berniat baik menyampaikan berita-berita dan ilmu pengetahuan kepada kawan-kawan saya tersebut, saya mendapat cibiran. Katanya harus mendapat sumber yang jelas, itu merupakan sebuah hoax, saya harus banyak membaca. Bukankah saya sudah banyak membaca dengan mengirimkan pesan tersebut? Sumber pun sudah jelas saya dapatnya; dari grup sebelah. Apalagi sebenarnya yang mereka tuntut? Kenapa saya menjadi pribadi yang selalu kurang di hadapan teman-teman saya. Semakin saya sering mengingatkan kawan-kawan, semakin sering saya mengajak kawan-kawan kepada kebaikan, justru mereka kian menjauh dari saya. Saya hanya bisa banyak merasa kasihan kepada kawan-kawan saya tersebut.

Saya yang bergerak menuju arah yang lebih baik ini ternyata tidak dapat diterima oleh kawan-kawan saya terdahulu. Mereka jauh tertinggal dari saya. Mereka tidak bergerak maju dan mereka juga tidak kembali ke jalan yang lurus. Bagaimana lagi cara saya harus mengingatkan teman-teman tersebut? Ketika bertemu secara langsung pun tidak ada dari mereka yang mau membahas lagi isu-isu terkini, khususnya topik tentang politik. Padahal dulu ketika saya tidak rajin membaca, mereka rajin sekali membahas capres A dan capres B. Ketika saya kilas balik dengan kejadian terdahulu, saya merasa mereka tidak asik dalam berdiskusi. Masing-masing pihak yang mendukung capres satunya akan menghargai pendapat pihak yang lainnya. Dan ketika obrolan semakin memanas, selalu saja dipotong menggunakan kalimat “Oke, pandangan kita berbeda. Mari kita setuju untuk tidak setuju dalam hal ini”. Setelah kalimat itu muncul, keadaan agak lebih dingin dan mereka mulai mencari topik lain. Itu tidak seru! Bagaimana bisa mereka dalam satu lingkungan bisa hidup dalam perbedaan? Harusnya kan semua setuju dalam satu pendapat. Hal itulah yang ingin saya perbaiki dalam lingkungan pertemanan saya.

Saya yang tidak mau tertinggal dan diam saja dari obrolan-obrolan seperti itu sebelumnya kini telah berubah. Dengan berapi-api saya tampilkan fakta-fakta yang saya dapat dari sumber-sumber terpercaya yang saya miliki. Apalagi kalau bukan bacaan-bacaan dari grup whatsapp. Saya ungkit kembali bahan bacaan yang sebenarnya telah saya kirim juga di grup yang ada mereka di dalamnya sebagai anggota grup. Saya membantah setiap argumen yang keluar dari mulut teman saya dengan wawasan yang saya miliki. Kami semua harus berada dalam satu pendapat dan satu pemikiran yang sama untuk menanggapi suatu hal. Sebut saja contohnya ketika Abok menistakan agama. Kami harus berada dalam opini yang sama menanggapi hal tersebut. Entah itu memang Abok menistakan agama atau tidak. Tapi opini yang saya ajukan adalah Abok betul menistakan agama, dan memang itu yang terjadi. Semua yang ada dalam forum perbincangan itu harus menyetujui bahwa Abok telah menistakan agama. Tidak boleh tidak. Tidak boleh terlontar kata-kata, “Kita berbeda dalam mengambil sudut pandang ini. Mari kita setuju untuk tidak setuju”. Tidak boleh.

Data yang saya gunakan dalam adu argumen itu tentu sangat valid. Sumbernya berada dari para pakar yang disebar di broadcast whatsapp. Belum ditambah dari potongan video yang digunakan. Mereka justru tidak menerima argumen saya dan mengatakan sumber saya lemah. Bisa-bisanya mereka berkata seperti itu. Padahal, orang yang menyebar berita dan informasi itu pasti tidak akan menyebar sembarangan berita dan informasi. Karena semua itu dilakukan demi kemaslahatan umat. Untuk kepentingan orang banyak. Tidak mungkin dong mereka membuat bahan bacaan yang asalan. Ketika mereka sama sekali menolak apa yang saya kemukakan, tentunya mereka sudah terjebak di jurang kebodohan dan menutup diri serta pikirannya sendiri. Alangkah kasihannya teman-teman saya.

Setelah itu, obrolan selalu tidak menarik. Mereka seperti enggan membicarakan apapun dengan saya. Kata mereka saya jadi selalu mengaitkan apa-apa dengan politik dan bacaan-bacaan saya di whatsapp atau suka tiba-tiba mengganti topik menjadi kembali ke obrolan yang sumbernya dari whatsapp. Apa salahnya? Bukannya memang semua ilmu pengetahuan bila ditarik jauh maka akan saling berkesinambungan? Saya pernah ambil contoh mengenai kesinambungan ilmu pengetahuan itu dari satu fenomena yang terjadi. Terkait Mang Dodo, seorang pedagang bubur ayam di lingkungan tempat saya tinggal, yang menaikkan harga barang dagangannya dengan teori bahwa itu semua akibat dari kebijakan ekonomi camat saya yang bernama Jaka Wibowo. Jakawi alias Jaka Wibowo itu memberi kebijakan menarik subsidi beras di kecamatan saya. Sehingga beras yang ada di pasaran harganya melambung tinggi, hingga akhirnya harga beras untuk dibuat menjadi bahan baku bubur pun naik. Harga bahan baku yang naik otomatis akan membuat harga jual barang pun menjadi naik. Masa begitu saja teman-teman saya tidak paham dan menuduh bahwa tukang bubur itu memang sengaja ingin mencari keuntungan lebih dari barang dagangannya. Kalau terus begini sejujurnya saya malas berteman lagi dengan mereka. Walaupun tetap status pertemanan tidak akan dihapuskan oleh saya kepada mereka. Saya butuh orang yang bisa saya tuju untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang malang-melintang di grup whatsapp saya, biar bagaimanapun. Kebenaran tetap harus disampaikan walau harus secuil. Atau anda-anda tertarik untuk masuk grup whatsapp buatan saya dan disampaikan sabda kebenaran di sana?

282/365
9 Oktober 2018

Mari Buang Makanan Agar Tetap Terjaga Impor Beras

                Salam. Sahabat-sahabatku yang peduli dengan isu terkini yang saya kasihi. Sudah makan? Sudah kenyang? Sudah memberi makan ego masing-masing untuk membela junjungan capresnya melalui gawai masing-masing? Kalau semua pertanyaan terjawab dengan kata ‘sudah’, ya saya ikut senang saja. Kalau dua pertanyaan awal dijawab dengan kata ‘belum’, mari kita bercengkerama sedikit.

                Sebelum nanti kita kembali berdebat di jagad dunia maya untuk membela masing-masing capres yang kita junjung, ada baiknya kita mengisi perut dulu agar terdapat tenaga untuk berperang walau hanya lewat kata. Saat mengisi perut tersebut alias makan. Makan nasi saja, ya. Tidak usah makan mie atau spaghetti yang merupakan produk budaya makanan asing dan aseng. Pastikan kita menghabiskan makanan yang kita pesan atau ambil di rumah. Kecuali kalau ada kucing liar yang memang mau dan bisa menghabiskan sisa makanan kita ya, tidak apa-apa. Pastikan tempe, tahu dan potongan ayam itu tandas ke dalam perut kita, bukan ke dalam tempat sampah. Karena apa?

                Karena eh karena, lupakan sejenak dongeng orang tua yang mengatakan bahwa nasi yang tidak habis itu akan menangis bila tersisa di piring kita. Juga kita singkirkan sementara sudut pandang makanan adalah nikmat dan rezeki yang diberikan oleh Tuhan untuk kita syukuri dan kita hargai. Tapi kita ingat, bahwa debat di jagad dunia maya dengan pihak berbeda junjungan capres menggunakan topik kemiskinan dan ketahanan pangan, Sahabatku. Bagaimana kita bisa mengambil topik angka garis kemiskinan lengkap dengan data statistik yang dirilis BPS dan pemerintah bila kita saja masih tidak menghabiskan makanan kita? Masa iya, kita bisa berlebih-lebih dalam makanan sendiri, lalu melupakan kondisi orang sekitar yang di rumahnya kekurangan makanan karena faktor ekonomi yang menggolongkan mereka miskin, setelah itu kita berdebat dengan topik kemiskinan. Apa yang kamu tuntut dari pemerintah, bisa mulai kamu tuntut dari diri sendiri, Sahabatku. Seperti sebuah pepatah dari seorang anonim yang berkata, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu. Tapi tanyakan apa yang negara renggut darimu.” Negara merenggut sebagian kepedulian kita dan perhatian kita yang bisa kita alihkan sebetulnya untuk menolong sesama, alih-alih hanya terus berdebat menggunakan isu copras-capres. Kalau sudah tahu itu adalah salah satu hal yang direnggut negara dari kita, maka dari itu, mari Bung rebut kembali!

                Bila memang makanan di rumah kita berlebih, bagi-bagikan saja kepada orang di jalanan. Tidak perlu menunggu momen bulan puasa saja untuk berbagi seperti itu. Orang yang memang betulan menggelandang di jalanan dan memang betulan miskin itu tetap butuh makan di luar bulan puasa, Sahabatku. Mereka lapar tidak hanya sebulan dalam setahun. Selanjutnya, bila memang makanan yang kita pesan di warung makan, kafe, restoran, sudah pasti kita tahu melebihi porsi makan kita, maka minta porsi yang diberikan kepada kita itu dikurangi. Karena kalau kita melakukan hitung-hitungan matematika seperti yang dilakukan Mojok Institute terhadap jumlah makanan, dalam hal ini lebih spesifik nasi yang tidak termakan dan terbuang begitu saja, dapat mengurangi jumlah impor beras. Kejauhan ya? Nanti dulu. Mari kita berhitung.

                Kalau kita menyisakan nasi di piring kita berkisar di 2-5 sendok makan, bisa kita timbang beratnya berkisar 10-30 gram. Bila kita ambil berat berasnya bisa menjadi 5-15 gram. Anggap kemudian kita menggunakan pola makan tiga kali sehari namun mengonsumsi nasi hanya dua kali sehari, karena waktu makan satu lagi digunakan mengonsumsi makanan selain nasi atau tidak makan sama sekali, maka berat beras yang terbuang sekitar 30 gram. Berat 30 gram itu kita kalikan waktu dalam setahun yaitu 365 hari, maka muncul angkan 10.950 gram alias hampir 11 kilogram beras dalam setahun untuk satu orang. Bila jumlah penduduk Indonesia ada di angka 250 juta penduduk dan kita hitung orang yang mengonsumsi nasi sebagian saja (karena masih ada yang mengonsumsi sagu atau ubi dan singkong sebagai sumber karbohidrat utama, belum para jamaah diet mayo), juga yang memiliki kebiasaan menyisakan makanan tidak semuanya, kita lakukan pembulatan di angka 100 juta penduduk saja, maka 100 juta orang dikalikan 11 kilogram dalam setahun maka muncul angka 1.100.000.000 kilogram beras per tahun atau 1,1 juta ton beras per tahun berlebih dari angka seharusnya yang kita konsumsi!1!!!!!1!!!!111

                Sudah wow belum? Kalau belum merasa wow. Kita lihat kebijakan pemerintah yang pada tahun 2016 dan 2017 sempat tidak mengimpor beras, namun pada sebuah berita yang dilansir dari Kompas di bulan Januari, pemerintah kembali mengimpor beras dengan rencana impor sebanyak 500.000 ton di tahun 2018. Sedang berita impor beras terkini angka tersebut melejit ke angka 1 juta ton dan 2 juta ton beras. Tentu hasil rencana impor dan jalannya program tersebut tidak terlepas dari angka konsumsi dan kebutuhan yang didapatkan juga oleh pemerintah dari survey yang telah dilakukan. Saya tidak mau melibatkan perhitungan uang di sini, karena kalau muncul angka rupiah, tentu sahabat-sahabat sekalian akan semakin tercengang dengan biaya yang dapat dihemat oleh negara.

                Kalau dilihat dari hitung-hitungan tersebut, sebetulnya kita sebagai rakyat kecil bisa membantu untuk mengurangi jumlah impor beras yang dilakukan pemerintah dengan cara melakukan hal kecil juga. Tapi bila dilakukan secara kolektif atau bersama-sama akan memberikan dampak yang besar. Selain itu juga, saat debat kusir membela junjungan capres kita masing-masing di jagad dunia maya, selain data yang disodorkan untuk para kampret dari para cebong atau sebaliknya dari cebong kepada para kampret, ada kontribusi nyata yang kita berikan pada negeri. Dari hal kecil, dimulai dari diri sendiri. Terkecuali memang debat itu hanya bertujuan memuaskan nafsu belaka. Iya, tidak apa-apa kalau mau membuang-buang makanan. Toh, pelaku debat kusir di dunia maya itu saya rasa dapat dengan mudah beli nasi lagi untuk makan selanjutnya. Tak peduli bakal habis atau tidak makannya. Toh itu pun uang mereka yang membelinya. Bukan saya yang memberi makan mereka.

          Apalah artinya membuang makanan sisa yang sedikit itu bukan? Tapi, kenapa untuk hanya membayar parkir di minimarket yang hanya dua ribu perak itu kita bisa uring-uringan tidak ikhlas memberikannya pada tukang parkir yang suka tiba-tiba muncul dari tempat tersembunyi?

276/365
3 Oktober 2018

Tidak Ada Tempat Untuk Menjadi Korban Di Sini

Manusia di sini tidak boleh salah sekaligus tidak boleh dirundung masalah. Kita harus tampak selalu sempurna di hadapan manusia lainnya. Sampai pada akhirnya kita lupa hakikat manusia penuh dengan segala dosa dan salah, tidak terlepas juga dari roda nasib yang berputar tidak selalu menguntungkan diri kita.

                Korban-korban kemalangan nasib adalah sebuah posisi yang rentan sekali semakin disudutkan oleh lingkungan sekitarnya. Bahkan oleh orang-orang terdekat sekalipun. Ada yang baru saja tasnya dicuri oleh orang, lalu kemudian respon pertama yang ia dapatkan bukan untuk ditenangkan dan dihibur, tapi justru dipersalahkan karena ia teledor menyimpan barangnya. “Kamu sih sembarangan nyimpennya”. Baik. Terima kasih atas komentarnya, sobat. Padahal bisa saja sang korban sudah sangat apik menjaga barang-barangnya. Memang betul kata Bang Napi, bahwa “kejahatan terjadi bukan hanya karena niat si pelaku, tapi juga karena ada kesempatan. Maka, waspadalah! Waspadalah!” Tapi, bisa saja kesempatan itu diciptakan bukan?

Pada saat itu korban pencurian tidak butuh dipersalahkan. Ia butuh bantuan untuk mencari orang yang mengambil barangnya. Bisa berupa mengupayakan untuk memeriksa CCTV terdekat yang bisa merekam kejadian. Barangkali, orang yang mengambilnya bisa kita ketahui mukanya, orang tersebut belum jauh beranjak dari kita. Kita masih bisa mencarinya. Atau mungkin ternyata sang pemilik barang hanya lupa menyimpan barangnya. Segala kemungkinan masih ada, dan masih bisa diupayakan untuk diselesaikan dengan baik, tanpa harus disudutkan untuk kemudian tidak dipedulikan oleh orang yang memberi komentar. Mungkin orang yang memberi komentar tidak tahu rasanya bilamana barangnya telah dicuri oleh orang. Mungkin juga orang tersebut adalah orang paling sempurna dan paling suci di muka bumi. Tapi tolong lah, kalau merasa sempurna dan baik, tidak perlu menjatuhkan mental orang-orang yang sedang dilanda nasib tidak baik.

Contoh lain terjadi pada kasus pemerkosaan atau juga musibah bencana alam. Korban bisa saja dipersalahkan karena pada saat terjadinya kasus, korban dipersalahkan karena pakaian yang begitu menggoda, padahal korban sendiri bisa saja adalah seorang wanita baik-baik yang mengenakan jilbab sebagai pakaiannya. Luput dari kita bahwa tindak kriminal itu bisa jadi karena memang sang pelaku yang mencipta kesempatan, bukan dari pihak korban yang menawarkan diri menjadi korban. Dan sang pelaku luput untuk disudutkan lingkungan, karena perhatian berpusat pada kesalahan korban, bukan kesalahan pelaku. Tindak pencegahan selalu dibebani dan didengungkan pada korban yang telah mengalami kejadian sebagai korban pemerkosaan.

Untuk korban bencana alam, alangkah matinya hati nurani orang-orang yang mengatakan bahwa saudara-saudara kita di Sulawesi yang tengah tertimpa musibah bencana alam adalah kalangan orang-orang yang lupa dengan Tuhannya. Itu adalah akibat dari kelalaian mereka sendiri. Mereka hanya menanggung kesalahan mereka sendiri. Orang-orang berkomentar seperti itu sepertinya sudah mendapatkan promo tiket murah penerbangan ke surga. Merasa dirinya tidak punya salah sehingga tidak mendapatkan teguran berupa bencana.

Padahal kalau kita ingat, negara kita ini memang daerah yang rawan dengan gejala alam salah satunya berupa gempa bumi. Kalau memang sudah tahu rawan, kenapa tidak ada tindakan pencegahan dan penyuluhan berkala yang dilakukan instansi dan organisasi terkait yang dibantu media massa kepada masyarakat. Kenapa masyarakat hanya disuguhi oleh isu-isu kesalahan dari presiden dan dosa dari capres lainnya. Masih banyak hal yang harus disuguhi kepada masyarakat selain othak athik gathuk dan isu-isu menjengahkan seperti pilpres, yang sebenarnya berkaitan dengan ihwal kehidupan khalayak secara langsung. Ya salah satunya adalah gejala alam yang terjadi di bumi nusantara ini.

Kita begitu larut pada dongeng-dongeng kita ini negara kaya yang menjamin rakyatnya hidup makmur, sejahtera, aman, sentosa. Betul, kalau kita negara kaya. Tapi betul juga bahwa tidak semua rakyatnya hidup makmur, sejahtera, aman, sentosa. Masih banyak orang yang terlilit kemiskinan dan berkubang dalam jurang kelaparan, padahal konon katanya sumber daya alamnya melimpah. Betul juga bahwa kita sebenarnya tidak aman untuk hidup tenang di Indonesia. Selain gejala alam -yang manusia kategorikan sebagai bencana alam- bisa terjadi sewaktu-waktu menghampiri kita, mulut-mulut pedas tetangga di kehidupan nyata atau komentar-komentar tajam di dunia maya pun tak luput dari mengusik ketenangan hidup kita. Setidaknya untuk mempersalahkan setiap orang yang berada dalam posisi korban atau orang sedang tertimpa musibah. Enak banget ya main salah-salahin orang lain.

274/365
2 Oktober 2018

Pengganggu Forum

                Masih ada saja orang yang datang ke sebuah forum yang berisi orang berbicara, tapi sebagai peserta forum mereka bukan mendengarkan orang yang berbicara. Mereka datang dan ikut berbicara dengan orang di sebelahnya. Lebih parahnya lagi, sampai mengganggu peserta lain yang bertujuan dan sedang melakukan untuk menjadi peserta yang baik, yaitu mendengarkan sang pembicara utama berbicara. Mereka terganggu karena suara narasumber utama bercampur dengan suara obrolan orang di diskusi di sebelahnya. Belum lagi ditambah dengan suara tertawa dan cekikikan.

                Saat sang narasumber merasa terganggu dengan suara orang yang bersaing dengan suara dirinya, ia pun mempersilakan mereka untuk menyelesaikan pembicaraannya itu. Sesaat suasana hening. Perhatian seluruh peserta beralih kepada dua orang yang asik tidak mendengarkan narasumber. Mereka sangat asik berbincang sendiri. Saat mereka sadar mereka sedang diperhatikan oleh seisi ruangan forum, mereka mendadak malu, menghentikan obrolannya seketika. Muka merah padam menahan malu dan marah karena dipermalukan. Dipermalukan diri sendiri lebih tepatnya.

                Tentu sang narasumber merasa terganggu. Karena ia diundang dan datang ke forum tersebut untuk bicara dan didengarkan, namun yang terjadi di lapangan adalah ia harus membagi ruang juga untuk orang lain berbicara bersamaan tepat dengan saat ia berbicara. Selain itu pun ia merasa akan membuang waktu dirinya dan peserta lain yang memang serius ingin mengambil manfaat dari materi yang diberikannya tersebut.

                Peserta yang sibuk sendiri itu tampak menyudahi kegiatan mengobrol mereka. Acara forum dilanjutkan dengan sang narasumber kembali menyampaikan materi yang sempat terhenti. Tidak selang berapa lama. Suara itu muncul kembali. Suara obrolan yang menyaingi suara narasumber. Tak luput juga suara cekikikannya. Pada kesempatan sebelumnya narasumber dan peserta lain tampak memberi maaf dan toleransi atas kegiatan mereka. Namun di kesempatan kali ini, tampak tatapan peserta forum lain lebih ganas dari sebelumnya. Merasa sangat terganggu dengan komentar yang muncul dari tatapan-tatapan mereka berupa “Ini orang tidak tahu diri”, “Mereka sangat mengganggu”, “Kalau memang mau mengobrol di luar saja lah sana”, “Aku pukuli saja kalian!”. Eits, komentar terakhir tentu hanya hiperbolik saja, walaupun bagi sebagian orang itu adalah hal yang maklum.

                Narasumber mewakili seluruh peserta ruangan menanyakan pada orang yang dari tadi asik berdua saja, “Mau ikut gabung dengan acara ini dengan mendengarkan saja dan menghargai peserta lain yang memang serius datang ke sini atau mau berbincang saja di luar?” Tentu, itu bukan sekadar pertanyaan. Kalimat itu lebih mengarah pada sebuah usiran halus pada mereka agar memilih dan lebih bijaksana melihat keadaan orang yang sudah sangat terganggu dengan kehadiran mereka. Lebih baik memang mereka keluar saja, karena sudah diberi kesempatan tapi masih mengulangi tindakan yang serupa. Mereka tampak jera dengan kalimat yang sudah blak-blakan terlontar dari salah seorang yang berada di ruangan tersebut. Bukan lagi hanya tatapan dari seluruh ruangan.

                Mereka tidak lagi berbicara satu sama lain. Keadaan forum terasa lebih kondusif. Tapi tetap saja tubuh mereka berdua saja yang berada di ruangan. Pikiran mereka entah ada di mana, karena setelah kejadian tersebut, mereka melanjutkan diri dengan sibuk tenggelam mengamati layar gawai yang disimpan di atas paha mereka. Agar tidak terlalu kentara bahwa mereka tidak memerhatikan isi materi dalam forum. Padahal orang masih tetap tahu apa yang mereka lakukan. Bedanya hanya mereka tidak mengganggu seluruh peserta di dalam forum itu saja. Cukup sampai di situ.

***

                Orang yang sebelumnya sangat terganggu dengan kehadiran dua orang yang asik berbincang di sebelahnya, tampak masih belum bisa menyerap materi dari narasumber. Perhatiannya masih terganggu dengan kegiatan peserta lain. Setelah sebelumnya dia terganggu dengan suara obrolan dua orang yang cekikikan, ternyata di sisi sebelahnya yang lain ia masih menemukan orang yang berbicara pelan. Tidak mengganggu seluruh peserta forum karena suaranya begitu pelan. Tawa darinya pun terdengar lebih seperti desis ular. Tampak tidak ada orang yang berbicara dengan orang ini. Tampak tidak ada juga orang di sebelahnya lagi. Ia asik berbicara sendiri. Bertanya, menjawab, ketawa dengan hal lucu yang terlontar dari mulutnya sendiri. Karena tidak tahan dan terasa membuang-buang waktunya, ia akhirnya memutuskan keluar dari ruangan dan mengakhiri keikutsertaan dalam forum tersebut.

 

270/365
28 September 2018